Kamis, 22 Oktober 2015

mudarris, mualim, muadib, musyrif, murabbi, dan mursyid



Dalam tulisan ini kita akan jelaskan posisi ustadz yang sebenarnya (insya Allah), agar Anda semua tidak salah paham.
[1]. Secara umum, ustadz itu diartikan sebagai GURU atau pendidik. Ini adalah pengertian dasarnya.

[2]. Guru dalam khazanah Arab atau Islam, memiliki banyak istilah yang berbeda-beda, yaitu: MudarrisMu’allimMuaddibMusyrifMurabbiMursyid, dan termasuk Ustadz. Masing-masing istilah memiliki makna tersendiri.

[3]. Mudarris artinya guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang menyampaikan dirasah atau pelajaran. Siapa saja yang menyampaikan pelajaran di hadapan murid-murid, dia adalah Mudarris.

[4]. Mu’allim artinya guru juga, tetapi lebih spesifik: Orang yang berusaha menjadikan murid-muridnya tahu, setelah sebelumnya mereka belum tahu. Tugas Mu’allim itu melakukan transformasi pengetahuan, sehingga muridnya menjadi tahu.

[5]. Muaddib atau Musyrif, artinya juga guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mengajarkan adab (etika dan moral), sehingga murid-muridnya menjadi lebih beradab atau mulia (syarif). Penekanannya lebih pada pendidikan akhlak, atau pendidikan karakter mulia.

[6]. Murabbi artinya sama, yaitu guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mendidik manusia sedemikian rupa, dengan ilmu dan akhlak, agar menjadi lebih berilmu, lebih berakhlak, dan lebih berdaya. Orientasinya memperbaiki kualitas kepribadian murid-muridnya, melalui proses belajar-mengajar secara intens. Murabbi itu bisa diumpamakan seperti petani yang menanam benih, memelihara tanaman baik-baik, sampai memetik hasilnya.

[7]. Mursyid artinya juga guru, tetapi skalanya lebih luas dari Murabbi. Kalau Murabbi cenderung privasi, terbatas jumlah muridnya, maka Musyrid lebih luas dari itu. Mursyid dalam terminologi shufi bisa memiliki sangat banyak murid-murid.

[8]. Baru kita masuk pengertian Ustadz. Secara dasar, ustadz memang artinya guru. Tetapi guru yang istimewa. Ia adalah seorang Mudarris, karena mengajarkan pelajaran. Ia seorang Mu’addib, karena juga mendidik manusia agar lebih beradab (berakhlak). Dia seorang Mu’allim, karena bertanggung-jawab melalukan transformasi ilmiah (menjadikan murid-muridnya tahu, setelah sebelumnya tidak tahu). Dan dia sekaligus seorang Murabbi, yaitu pendidik yang komplit. Jadi, seorang ustadz itu memiliki kapasitas ilmu, akhlak, terlibat dalam proses pembinaan, serta keteladanan.

[9]. Dalam istilah Arab modern, kalau Anda menemukan ada istilah “Al Ustadz Ad Duktur” di depan nama seseorang, itu sama dengan “Profesor Doktor”. Jadi Al Ustadz itu sebenarnya padanan untuk Profesor. Kalau tidak percaya, coba tanyakan kepada para ahli-ahli Islam yang pernah kuliah di Timur Tengah, apa pengertian “Al Ustadz Ad Duktur”?

[10]. Sejujurnya, istilah Ustadz itu dalam tataran ilmu, berada satu tingkat di bawah istilah Ulama atau Syaikh. Kalau seseorang disebut Ustadz, dia itu sebenarnya ulama atau mendekati derajat ulama. Contoh, seperti sebutan Ustadz Muhammad Abdul Baqi’, Ustadz Said Hawa, Ustadz Hasan Al Hudaibi, Ustadz Muhammad Assad, dan lain-lain.
Nah, hal seperti ini perlu dijelaskan, agar kita tahu dan memaklumi. Istilah Ustadz itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Di dalamnya terkandung makna ilmu, pengajaran, akhlak, dan keteladanan. Kalau kemudian di Indonesia, istilah Ustadz sangat murah meriah, atau diobral gratis… Ya itu karena kita saja yang tidak tahu.

Ke depan, jangan mudah-mudah menyebut atau memberi gelar ustadz, kalau memang yang bersangkutan tidak pada proporsinya untuk menerima hal itu. Sebagai alternatif, orang-orang yang terlibat dalam dakwah Islam bisa disebut sebagai: Dai (pendakwah), muballigh (penyampai risalah), khatib (orator), ‘alim (orang berilmu), dan yang semisal itu.

Adapun istilah Ustadz Selebritis, Ustadz Gaul, Ustadz Entertainis, Ustadz Komersil, Ustadz Panggung…dan lain-lain; semua ini tidak benar, ia bukan peristilahan yang benar. Derajat ustadz itu dekat dengan ulama. Itu harus dicatat!


ETIKA GURU MENURUT PARA AHLI

A.    ETIKA GURU MENURUT IBN JAMA’AH
Ibnu jamaah mengklasifikasikan etika guru untuk memudahkan pembahasan dan memperjelas aspek-aspek yang berbeda, dengan konsep yang jelas. Beliau membagi etika guru kedalam tiga bagian:
1.      Etika guru pada dirinya
2.      Etika guru pada muridnya
3.      Etika guru dalam mengajar.
            Diantara kewajiban guru menurut ibn jama’ah adalah menghiasi diridengan akhlag yang diharuskan bagi tokoh agama dan bagi seorang mukmin. Secara umum syarat pendidikan guru dan etika yang baik dengan dirinya, murid-muridnya dan pelajaran
a.      Karakteristik akhlaq
            Seorang guru diharuskan memiliki akhlaq yang mulia seperti sopan, khusu, tawadhu, hudu, tunduk pada Allah SWT, dan selalu mendekatkan diri pada-Nya secara diam-diam dan terang-terangan. Guru itu osisinya tinggi karena tidak boleh menghadap penguasa kecuali ada alasan yang jelas, sebagai bentuk pemuliaan pada ilmu. Salah satu bentuk yang dapat membantu guru untuk mencapai akhlaq yang mulia adalah zuhud terhadap dunia dan qona’ah.
Zuhud dunia adalah sifat yang harus ada pada setiap guru. Karena harus bersifat ekonomis dan menentukan skala prioritas dalam materi yang cukup memenuhi kebutuhan diri dan keluarga saja. Ibn jama’ah berwasiat kepada para guru untuk tidak terpengaruh oleh materi, karena guru adalah manusia paling utama. Mereka tidak diperkenankan untuk melakukan usaha-usaha lain diantaranya membekam, menyamak kulit, pekerjaan tukang emas lainnya. Jangan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang subhat, yang dapat menimbulkan prasangka buruk dimasyarakat. Semua itu dilakukan agar tidak menghancurkan kreadibilitas ilmu dan pemiliknya.
b.      Karakteristik agama
      Selain karakteristik akhlaq mulia, ibn jama’ah juga menuntut agar guru memiliki karakteristik keagamaan, seperti:
1.      Melaksanakan syiar islam
2.      Melaksanakan amalan sunat baik perkataan maupun perbuatan, seperti membaca al-qur’an dzikir dalam hati ataupun lisan, menjaga wibawa nabi ketika diebut namanya, dia juga wajib bergaul dengan masyarakat dengan akhlaq mulia.
      Ibn jama’ah sangat anyak memberikan bentuk tanggung jawab kepada guru dan mengarahkannya kepada aklaq yang baik. Dalam pandangannya, guru adalah orang besar dan contoh bagi masyarakat dan murid-muridnya,. Karena itu guru bisa bermuka ramah, menahan amarah, bisa member pengaruh, lemah lembut dan memerintah pada yang baik.
c.       Karakteristik keahlian.
      Menurut ibn jama’ah aspek ideal seorang guru adalah tidak menghilangkan aspek-aspek yang  lain yang dapat membantunya untuk melaksanakan kewajiban mengajar. Pokoknya proses mengajar tidak akan terlaksana apabila keahliannya belum sempurna.
        Dengan demikian , guru harus berusaha untuk meningkatkan keahliannya. Guur hendaknya tidak menyia-nyiakan  usianya untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan ilmu kecuali untuk hal yang penting.  Terhadap aspek aturan ideal realistis yang mengarah pada guru,ibn jama’ah memberikan tambahan bahwa seorang guru bersama murid-muridnya berusaha untuk sampai kepada hakikat.
Sehubung dengan hal diatas, kewajiban guru secara integral adalah mengarah dan menganalisis. Dlam pandangan ibn jama’ah seorang guru tidak boleh meniggalkan penelitian, tidak memahami tujuan untuk dicapai. Menurutnya juga, guru adalah orang yang aktivitasnya telah dimaklumi bahkan seluruh aspek kehidupannya tertuju kepada ilmu dan penyebarannya serta bermanfaat bagi diri dan murid-muridnya.
Untuk mencapai karakter ideal, seorang guru harus memiliki etika karakter yaitu;
a.      Etika pendidik terhadap dirinya(kepribadian guru)
Ibn jama’ah membagi kepribadian guru menjadi dua belas macam yaitu:
1)  memiliki sifat mudawwamah’konsisten’ secara kontinyu bahwa dirinya ada dibawah pengawasan Allah, baik dalam keadaan sembunyi maupun dalam keadaan terang. Setiap gerak diamnya perkataan adalah  senantiasa didasari oleh perasaan adanya pengawasan yang ketat dari Allah. Ia juga mesti memiliki loyalitas atas pengetahuan dan pemahaman yang dianugerahkan kepadanya.[1]
2) Memelihara kelangsungan ilmu, yakni dengan membagi ilmu sebagai satu kemuliaan, baik secara konsep maupun  secara praktis metodologis. Imam zuhri dalam kaitan ini berpendapat bahwa perginya pengajar dari mereka merupakan suatu kerendhan ilmu.
3) memiliki sifat zuhud dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak tergantung kepada aspek material.namun demikian jangan sampai kondisi ini membahayakan lagi bai dirinya. Artinya, secara manusiawi dan dalam batas-batas kewajaran itu sah-sah saja, bahwa kemudian ia menjadi seorang materialistis itu tidak dibenarkan.
4) tidak menjadikan ilmunya sebagai katalisator bagi pencapaian maksud-maksud duniawi, pangkat, jabatan, golongan, harta,popularitas dan sejenisnya.
5) menjauhi aktivitas yang rendah dan hina, juga hal-hal yang makhurat, baik secara norma cultural maupun secara norma syari’ah.
6) memelihara kelangsungan syiar islam sekaigus hukum syariatnya
7) menjaga ibadah syariat baik secara llisan maupun perbuatan
8) membiasakan diri dalam pergaulan dengan akhlak mulia.
9) biasakan diri dengan akhlak terpuji dan menghindari akhlak tercela
10)  senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pribadi
11)  menantiasa mengambil manfaat atau hikmah dari mana saja  datangnya terhadap apa yang belum dia ketahui
12)  menyibukan diri dengan karya nyata, dengan menjaga kde etik keilmuan
b.      Etika guru pada murid-muridnya
Dalam bentuk yang terperinci dan sistematis ibnu jamaah mengungkapkan aturan-aturan yang mengatur hubungan antara guru dan murid dalam belajar. Aturan-aturan tersebut bersifat idealis ilmiah yaitu:
Ø  Bertujuan mengharap ridha allah, menyebarkan ilmu dan menyebarkan syariat
Ø  Tidak kalah pentingnya perlunya niat baik pada murid, maksudnya tidak boleh mengajar siswa karena tidak ikhlas
Ø  Memberikan penjelasan tentang kelebihan-kelebihan ilmu dan pemiliknya serta penjelasan tentang materi dunia adalah sarana penting untuk mendapatkan dunia.
Ø  Menghargai individu siswa yang lupa atau salah tidak menyelesaikan tugas, karena guru adalah inddividu yang mungkin saja lupa begitupun dengan murid
Ø  Mempermudah murid yang rajin dan perlakuan yang baik terhadap murid yang kurang.
Ø  Memahami emosi siswa
B.  ETIKA GURU MENURUT AL-GHAZALI
      Menurut Al-ghazali[2] bahwa kepribadian dan etika guru adalah seagai berikut:
1)      Kasih Sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri.
2)      Meneladani Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan maupun penghargaan
3)      Hendaknya tidak member predikat atau martabat pada peserta didik sebelum ia pantas dn kompeten untuk menyandangnya, dan jangan member ilmu yang samar( al-ilm al-kafy) sebelum tuntas ilmu yang jelas.(al-ilm al-jaly)
4)      Hendaknya  peserta didik dari akhlaq yang jelek(sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tunjuk hidung.
5)      Guru yang memegang bidang studi tertentu sebaiknya tidak menjelek-jelekan atau merendahkan bidang studi yang lain.
6)      Menyajikan pelajaran pada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka.
7)      Dalam menghadapi pesert didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu ilmu global yang tidak perlu menyajikan detailnya.
8)      Guru hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan perbuatan.
      Pendidik merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Dalam menggali konsep-konsep pendidik yang ditawarkan oleh ulama Muslim dan/atau ilmuwan Barat, yang perlu dipertimbangkan adalah muatan moral dan rasionalnya. Mengadopsi konsep apa pun (termasuk pendidik) yang hanya bermuatan moral, akan berimbas pada tumpulnya sebuah daya kreativitas rasional dalam pendidikan (Islam). Begitu juga sebaliknya, mengadopsi pemikiran yang hanya bermuatan rasional tanpa mempertimbangkan muatan moralnya, akan berimplikasi pada keringnya perilaku bermoral, dan ini akan berefek pada krisis sosial. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan (balancing) antara keputusan moral dan rasional dalam pendidikan (Islam). Dari situ, menarik untuk menelanjangi konsep (pendidik) dalam pendidikan Islam dengan pisau bedah al-Ghazali, yang memang secara esensial mempertimbangkan aspek moral dan rasional dalam ulasan-ulasan pemikirannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan bagi peserta didik.
      Etika Pendidik Perspektif Al-Ghazali & Analisis Selanjutnya, berkaitan dengan etika (sikap, perilaku, dan tanggung jawab) seorang pendidik profesional dalam menjalankan tugasnya, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal yang harus dimiliki dan dilakukan seorang pendidik. Hal ini sebagai landasan etika-moral bagi para pendidik (guru/dosen/ seprofesinya). Gagasan-gagasan al-Ghazali tersebut antara lain sebagai berikut.:

1)      Pendidik merupakan Orang Tua bagi Peserta Didik.
Seorang pendidik harus memiliki kasih sayang kepada peserta didiknya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Sebuah hadits menyatakan: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anakny”. Hadits tersebut menuntut seorang pendidik agar tidak hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada anak. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya besok hidup, maka pendidik pun harus memikirkan masa depanpeserta didiknya. Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik sering tidak bisa tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh peserta didik, apalagi sebagai orang tua.
      Oleh karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian, bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri. Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru (pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua –sering- hanya menjadi penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.
 2)      Pendidik sebagai Pewaris Para Nabi
Dalam menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”
Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.

3)   Dalam menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi
yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.”
Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
Hal itu sebagaimana pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya seorang pendidik tidak lupa memberikan nasihat kepada murid (peserta didik –pen.), yakni dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”

4)   Pendidik sebagai Figur Sentral bagi Peserta Didik
Al-Ghazali memberi nasihat kepada para pendidik agar memposisikan diri sebagai teladan dan pusat perhatian bagi peserta didiknya. Ia harus memiliki kharisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting bagi pendidik untuk membawa peserta didik ke arah yang dikehendaki. Di samping itu, kewibawaan juga menunjang perannya sebagai pembimbing, penuntun, dan penunjuk jalan bagi peserta didik. Disamping pendidik sebagai orang tua peserta didik dan sifat kasih sayang yang dimilikinya, adalah bijaksana apabila pada saat tertentu pendidik juga sebagai teman belajar peserta didik–sehingga terjadi proses dialogis. Hal ini dilakukan agar tidak salah arah dalam memberikan bimbingan ke arah terwujudnya cita-cita pendidikan yang dikehendaki.
     Sebaliknya, jika wibawa pendidik sudah tidak ada, maka akan dapat mengganggu jalannya proses pendidikan. Oleh karena itu, peran pendidik sangatlah penting; dan dalam menjalankan peranannya pendidik harus berwibawa di hadapan para peserta didik. Upaya yang harus dilakukan dalam memperoleh wibawa adalah, mempunyai intelektual yang tinggi, memperhatikan prinsip-prinsip belajar, dan kasih sayang terhadap peserta didik. Pendidik tidak boleh membesar-besarkan kesalahan peserta didik, mengejeknya, dan membuka aib di depan teman-temannya.
     Pendidik harus pandai-pandai memberi nasihat kepada para peserta didik. Dalam menegur dan memperingatkan peserta didik yang salah, tidak boleh secara terang-terangan dan harus melalui sindiran atau pemanggilan secara khusus; sebab menegur peserta didik yang salah secara langsung dan terbuka, bisa membuat mereka malu, down, sakit hati, dendam, dan hilang rasa hormatnya. Hal itu bisa menghambat kelancaran prestasi belajarnya. Al-Ghazali menjelaskan; “Pendidik hendaknya menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran dan tidak dengan terus terang, tetapi dengan kasih sayang, tidak dengan cara mengejek; sebab kalau dengan cara terus terang, peserta didik akan takut kepada pendidik, dan/atau akan berani menentang pendidik”.
 5)Pendidik sebagai Motivator (Pendorong) bagi Peserta Didik
Sesuai dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi setingkat (steep by steep).
6) Pendidik seharusnya Memahami Tingkat Kognisi (Intelektual) Peserta Didik
        Menurut al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan seterusnya. Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar pendidik dapat menyampaikan ilmu dalam proses belajar mengajar dengan cermat dan sesuai dengan perkembangan tingkat pemahaman peserta didik. Dari itu metode yang digunakan harus tepat dan sesuai. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Pendidik hendaklah menyampaikan bidang studi yang sesuai menurut tenaga pemahaman peserta didik”. Jangan memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti peserta didik lari atau otaknya tumpul.
Dalam kaitan ini Whiterington, yang selanjutnya dikutip Abudin Ibnu Rusn, menulis tentang periode pertumbuhan manusia sejak lahir sampai umur 3 tahun; dari umur 3 tahun sampai 6 tahun; 6 tahun hingga 9 tahun; 9 tahun hingga 12 tahun; 12 sampai 15; 15 sampai 18; dst. Meurutnya, pada periode-periode tersebut manusia memiliki tanda dan aktivitas yang berbeda baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu, pendidik harus mengikuti perkembangan intelektual (kecerdasan) peserta didik, sehingga bisa mengetahui gejala psikis mereka dan bisa memilih metode mengajar dengan tepat.
Hal ini sangat relevan dengan asas individualisasi peserta didik, yakni ada yang pandai, setengah pandai, dan bodoh. Ada peserta didik yag aktif masuk, ada yang setengah aktif, dan ada yang tidak aktif. Dengan mengetahui kondisi peserta didik yang seperti itu, dimungkinkan pendidik tidak akan memberikan materi dan pertanyaan yang salah arah, seperti memberikan materi dan pertanyaan yang terlalu mudah bagi peserta didik yang pandai, atau sebaliknya memberikan pertanyaan yang terlalu sulit untuk peserta didik yang bodoh.
Pendidik juga akan lancar memberikan materi pada peserta didik yang aktif masuk, pun bisa sedikit mengulang materi yang telah diisampaikan kepada peserta didik yang kurang aktif –yang mungkin kekurangaktifannya disebabkan karena sakit atau yang lain yang tidak bisa disalahkan. Dengan begitu pendidik akan selalu menjadi pusat perehatian peserta didik, mereka pun tidak menyepelekan dan tetap menghormati pendidik.
7)      Pendidik sebagai Teladan bagi Peserta Didik
Dalam rangka mengajak manusia ke jalan yang benar, Rasulullah dibekali oleh Allah akhlak yang mulia sehingga beliau menjadi contoh yang baik (teladan) bagi setiap umat manusia. Apa yang keluar dari lisannya sama denga apa yang ada di dadanya, sehingga perbuatannya pun sama dengan perkataannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik juga harus demikian dalam mengamalkan ilmunya, tindakannya harus sesuai dengan apa yang telah dinasihatkan kepada peserta didik. Ajaran fundamental yang harus diberikan adalah yang berkaitan dengan etika, moral (akhlak), dimana semuanya terhimpun dalam ajaran agama.
Di negara kitra (Indonesia), pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur … dan seterusnya. Dengan begitu, pendidik sebagai orang yang paling berperan dalam pendidikan, sebelum melaksanakan tugasnya, harus menjadi orang yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur). Tanpa memenuhi persyaratan ini, mustahil akan terwujud manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan rumusan di atas.
Para pendidik dalam melaksanakan tugasnya, ibarat orang yang akan memberikan sesuatu kepada orang lain. Mana mungkin pendidik tersebut bisa memberikan sesuatu yang tidak dimiliknya. Untuk memberikan bekal iman dan takwa kepada peserta didik, pendidik harus lah orang yang beriman dan bertakwa; sehingga tepat apa yang dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989, bahwa untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, ia harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Berkaitan dengan ini al-Ghazali mengatakan:
“Perumpamaan guru yang membimbing terhadap murid yang dibimbing itu seperti ukiran dari tanah dan bayangan dari kayu. Maka bagaimanakah tanah itu akan terukir oleh sesuatu yang tidak ada ukirannya, dan kapankah bayangan itu lurus kalau kayu itu sendiri bengkok?”
 Untuk itulah wahai para pendidik, amalkan ilmu anda, jangan berlainan antara kata dan perbuatan ingat dan camkan dua ayat di bawah ini;
 Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?(al-baqarah:44)


Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(As-shaf:3)
Dua ayat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita sampaikan kepada orang lain hendaknya telah kita kerjakan terlebih dahulu. Pendidik jangan sampai menyeru terhadap peserta didik dengan sesuatu yang si pendidik sendiri tidak megerjakannya. Dengan kata lain, si pendidik harus mengajarkan sesuatu yang bermanfaat, dan kemanfaatan itu telah dilaksanakan oleh si pendidik sepanjang kemampuannya.
C.   ETIKA GURU MENURUT KH. HASYIM ASYHARI
Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitab Adabul Alim Wal Mutaallim, adalah sebagai berikut :
1.      Etika Guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh setiap pribadi guru
2.      Etika Guru dalam proses belajar mengajar
3.   Etika bagi Guru terhadap murid
4.   Etika terhadap kitab sebagai alat pelajaran
     Pemikiran KH. Hasyim Asyari mengenai etika yang harus dipedomani oleh guru masih sangat relevan untuk diterapkan oleh guru dalam proses belajar mengajar agama Islam pada saat ini. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai manivestasi kompetensi yang ia miliki untuk menggapai derajat tertinggi baik dalam pandangan manusia maupun pandangan Tuhan.
a) Etika Seorang Guru
Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut :
1.     selalu mendekatkan diri kepada Allah
2.     senantiasa takut kepada Allah
3.     senantiasa bersikap tenang
4.     senantiasa berhati-hati
5.     senantiasa tawadhu’ dan khusu’
6.     mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT
7.     tidak menggunakan ilmunya untuk keduniawian saja
8.     tidak selalu memanjakan anak didik
9.     berlaku zuhud dalam kehidupan dunia
10.    menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah
11.    menghindari tempat-tempat yang kotor atau maksiat
12.    mengamalkan sunnah nabi
13.    mengistiqomahkan membaca al-qur’an
14.    bersikap ramah, ceria, dan suka menebarkan salam
15.     membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
16.    menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan
17.    tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya
18.    dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas
Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat menarik, yaitu tentang poin yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang dan meringkas. Hal ini masih sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi salah satu faktor mengapa masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah. Padahal dengan adanya guru yang selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu yang dia miliki akan terabadikan.
b)     Etika Guru dalam mengajar
Seorang guru ketika mengajar dan hendak mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut :
1.     mensucikan diri dari hadats dan kotoran
2.     berpakaian yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian
3.     berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
4.     menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit)
5.     membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
6.     memberikan salam ketika masuk kedalam kelas
7.     sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita
8.     berpenampilan yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
9.     menghindarkan diri dari gurauan dan banyak tertawa
10.    jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain sebagainya
11.    hendaknya mengambil tempat duduk yang strategis
12.    usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong
13.    dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki
14.    jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat menyesatkan
15.    perhatikan msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu lama
16.    menciptakan ketengan dalam belajar
17.    menegur dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang bandel
18.    bersikap terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan
19.    berilah kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud
20.    dan apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.
Dari pemikiran yang ditawarkan oleh hasyim asy’ari tersebut, terlihatlah bahwa pemikirannya tentang etika guru dalam mengajar ini sesuai dengan apa yang beliau dan kita alami selama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang beliau fikirkan adalah bersifat fragmatis atau berdasarkan pengalaman. Sehingga hal inilah yang memberikan nilai tambah begi pemikirannya.    
c)      Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika tersebut adalah :
1.     berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam
2.     menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian
3.     hendaknya selalu melakukan instropeksi diri
4.     menggunakan metode yang sudah dipahami murid
5.     membangkitkan semangat murid dengan memotivasinya, begitu murid yang satu dengan yang lain
6.     memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu
7.     selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain
8.     bersikap terbuka dan lapang dada
9.     membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik
10.    tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.
SIMPULAN
Ibnu jamaah mengklasifikasikan etika guru untuk memudahkan pembahasan dan memperjelas aspek-aspek yang berbeda, dengan konsep yang jelas. Beliau membagi etika guru kedalam tiga bagian:
1.      Etika guru pada dirinya
2.      Etika guru pada muridnya
3.      Etika guru dalam mengajar.

Etika guru dalam proses belajar mengajar agama Islam menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitab Adabul Alim Wal Mutaallim, adalah sebagai berikut :
1.      Etika Guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh setiap pribadi guru
2.      Etika Guru dalam proses belajar mengajar
3.      Etika bagi Guru terhadap murid
4.      Etika terhadap kitab sebagai alat pelajaran
Berdasarkan uraian panjang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa al-Ghazali merupakan sosok pemikir Muslim yang betul-betul menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai basic pemikirannya. Dalam kaitannya dengan manusia sebagai pendidik al-Ghazali menawarkan beberapa gagasan yang bermuatan rasional dan moral. Al-Ghazali memberikan konsep pendidik (guru/dosen/seprofesinya) yang bersifat humanis dan saling pengertian. Dengan begitu, eksistensi pendidik dan peserta didik (murid/mahasiswa / seprofesinya)  tetap dihargai. Pendidik tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Peserta didik juga harus hormat kepada pendidik. Pendidik memberikan hak bertanya, berpendapat, dan berperilaku sesuai dengan bakat, potensi, dan kecendrungan peserta didik. Walaupun begitu, peserta didik harus tetap sopan dan santun kepada pendidik.