A. ETIKA GURU MENURUT IBN
JAMA’AH
Ibnu
jamaah mengklasifikasikan etika guru untuk memudahkan pembahasan dan
memperjelas aspek-aspek yang berbeda, dengan konsep yang jelas. Beliau membagi
etika guru kedalam tiga bagian:
1. Etika guru pada
dirinya
2. Etika guru pada
muridnya
3. Etika guru dalam
mengajar.
Diantara
kewajiban guru menurut ibn jama’ah adalah menghiasi diridengan akhlag yang
diharuskan bagi tokoh agama dan bagi seorang mukmin. Secara umum syarat
pendidikan guru dan etika yang baik dengan dirinya, murid-muridnya dan
pelajaran
a. Karakteristik
akhlaq
Seorang
guru diharuskan memiliki akhlaq yang mulia seperti sopan,
khusu, tawadhu, hudu, tunduk pada Allah SWT, dan selalu mendekatkan diri pada-Nya secara
diam-diam dan terang-terangan. Guru itu osisinya tinggi karena tidak boleh
menghadap penguasa kecuali ada alasan yang jelas, sebagai bentuk pemuliaan pada
ilmu. Salah satu bentuk yang dapat membantu guru untuk mencapai akhlaq yang
mulia adalah zuhud terhadap dunia dan qona’ah.
Zuhud dunia adalah sifat yang harus ada pada setiap guru. Karena harus
bersifat ekonomis dan menentukan skala prioritas dalam materi yang cukup
memenuhi kebutuhan diri dan keluarga saja. Ibn jama’ah berwasiat kepada para
guru untuk tidak terpengaruh oleh materi, karena guru adalah manusia paling
utama. Mereka tidak diperkenankan untuk melakukan usaha-usaha lain diantaranya
membekam, menyamak kulit, pekerjaan tukang emas lainnya. Jangan melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang subhat, yang dapat menimbulkan prasangka buruk dimasyarakat.
Semua itu dilakukan agar tidak menghancurkan kreadibilitas ilmu dan pemiliknya.
b. Karakteristik
agama
Selain
karakteristik akhlaq mulia, ibn jama’ah juga menuntut agar guru memiliki
karakteristik keagamaan, seperti:
1. Melaksanakan
syiar islam
2. Melaksanakan
amalan sunat baik perkataan maupun perbuatan, seperti membaca al-qur’an dzikir
dalam hati ataupun lisan, menjaga wibawa nabi ketika diebut namanya, dia juga
wajib bergaul dengan masyarakat dengan akhlaq mulia.
Ibn
jama’ah sangat anyak memberikan bentuk tanggung jawab kepada guru dan
mengarahkannya kepada aklaq yang baik. Dalam pandangannya, guru adalah orang
besar dan contoh bagi masyarakat dan murid-muridnya,. Karena itu guru bisa
bermuka ramah, menahan amarah, bisa member pengaruh, lemah lembut dan
memerintah pada yang baik.
c. Karakteristik
keahlian.
Menurut
ibn jama’ah aspek ideal seorang guru adalah tidak menghilangkan aspek-aspek
yang lain yang dapat membantunya untuk melaksanakan kewajiban
mengajar. Pokoknya proses mengajar tidak akan terlaksana apabila keahliannya
belum sempurna.
Dengan
demikian , guru harus berusaha untuk meningkatkan keahliannya. Guur hendaknya
tidak menyia-nyiakan usianya untuk kegiatan yang tidak berhubungan
dengan ilmu kecuali untuk hal yang penting. Terhadap aspek aturan
ideal realistis yang mengarah pada guru,ibn jama’ah memberikan tambahan bahwa
seorang guru bersama murid-muridnya berusaha untuk sampai kepada hakikat.
Sehubung
dengan hal diatas, kewajiban guru secara integral adalah mengarah dan
menganalisis. Dlam pandangan ibn jama’ah seorang guru tidak boleh meniggalkan
penelitian, tidak memahami tujuan untuk dicapai. Menurutnya juga, guru adalah
orang yang aktivitasnya telah dimaklumi bahkan seluruh aspek kehidupannya
tertuju kepada ilmu dan penyebarannya serta bermanfaat bagi diri dan
murid-muridnya.
Untuk
mencapai karakter ideal, seorang guru harus memiliki etika karakter yaitu;
a. Etika
pendidik terhadap dirinya(kepribadian guru)
Ibn jama’ah membagi kepribadian guru menjadi dua belas macam yaitu:
1) memiliki sifat
mudawwamah’konsisten’ secara kontinyu bahwa dirinya ada dibawah pengawasan
Allah, baik dalam keadaan sembunyi maupun dalam keadaan terang. Setiap gerak
diamnya perkataan adalah senantiasa didasari oleh perasaan adanya
pengawasan yang ketat dari Allah. Ia juga mesti memiliki loyalitas atas
pengetahuan dan pemahaman yang dianugerahkan kepadanya.[1]
2) Memelihara kelangsungan ilmu,
yakni dengan membagi ilmu sebagai satu kemuliaan, baik secara konsep
maupun secara praktis metodologis. Imam zuhri dalam kaitan ini
berpendapat bahwa perginya pengajar dari mereka merupakan suatu kerendhan ilmu.
3) memiliki sifat zuhud dan berusaha
semaksimal mungkin untuk tidak tergantung kepada aspek material.namun demikian
jangan sampai kondisi ini membahayakan lagi bai dirinya. Artinya, secara
manusiawi dan dalam batas-batas kewajaran itu sah-sah saja, bahwa kemudian ia
menjadi seorang materialistis itu tidak dibenarkan.
4) tidak menjadikan ilmunya sebagai
katalisator bagi pencapaian maksud-maksud duniawi, pangkat, jabatan, golongan,
harta,popularitas dan sejenisnya.
5) menjauhi aktivitas yang rendah dan
hina, juga hal-hal yang makhurat, baik secara norma cultural maupun secara
norma syari’ah.
6) memelihara kelangsungan syiar
islam sekaigus hukum syariatnya
7) menjaga ibadah syariat baik secara
llisan maupun perbuatan
8) membiasakan diri dalam pergaulan
dengan akhlak mulia.
9) biasakan diri dengan akhlak
terpuji dan menghindari akhlak tercela
10) senantiasa berupaya
meningkatkan kualitas pribadi
11) menantiasa mengambil
manfaat atau hikmah dari mana saja datangnya terhadap apa yang belum
dia ketahui
12) menyibukan diri dengan
karya nyata, dengan menjaga kde etik keilmuan
b. Etika
guru pada murid-muridnya
Dalam bentuk yang terperinci dan sistematis ibnu jamaah mengungkapkan
aturan-aturan yang mengatur hubungan antara guru dan murid dalam belajar.
Aturan-aturan tersebut bersifat idealis ilmiah yaitu:
Ø Bertujuan mengharap ridha allah, menyebarkan ilmu dan
menyebarkan syariat
Ø Tidak kalah pentingnya perlunya niat baik pada murid, maksudnya
tidak boleh mengajar siswa karena tidak ikhlas
Ø Memberikan penjelasan tentang kelebihan-kelebihan ilmu dan
pemiliknya serta penjelasan tentang materi dunia adalah sarana penting untuk
mendapatkan dunia.
Ø Menghargai individu siswa yang lupa atau salah tidak
menyelesaikan tugas, karena guru adalah inddividu yang mungkin saja lupa
begitupun dengan murid
Ø Mempermudah murid yang rajin dan perlakuan yang baik terhadap
murid yang kurang.
Ø Memahami emosi siswa
B. ETIKA GURU MENURUT
AL-GHAZALI
Menurut Al-ghazali[2] bahwa kepribadian dan etika guru
adalah seagai berikut:
1) Kasih
Sayang kepada peserta didik dan memperlakukannya sebagai anaknya sendiri.
2) Meneladani
Rasulullah sehingga jangan menuntut upah, imbalan maupun penghargaan
3) Hendaknya
tidak member predikat atau martabat pada peserta didik sebelum ia pantas dn
kompeten untuk menyandangnya, dan jangan member ilmu yang samar( al-ilm
al-kafy) sebelum tuntas ilmu yang jelas.(al-ilm al-jaly)
4) Hendaknya peserta
didik dari akhlaq yang jelek(sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tunjuk
hidung.
5) Guru
yang memegang bidang studi tertentu sebaiknya tidak menjelek-jelekan atau
merendahkan bidang studi yang lain.
6) Menyajikan
pelajaran pada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka.
7) Dalam
menghadapi pesert didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu ilmu global
yang tidak perlu menyajikan detailnya.
8) Guru
hendaknya mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan
perbuatan.
Pendidik
merupakan bagian terpenting dalam pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Dalam
menggali konsep-konsep pendidik yang ditawarkan oleh ulama Muslim dan/atau
ilmuwan Barat, yang perlu dipertimbangkan adalah muatan moral dan rasionalnya.
Mengadopsi konsep apa pun (termasuk pendidik) yang hanya bermuatan moral, akan
berimbas pada tumpulnya sebuah daya kreativitas rasional dalam pendidikan
(Islam). Begitu juga sebaliknya, mengadopsi pemikiran yang hanya bermuatan
rasional tanpa mempertimbangkan muatan moralnya, akan berimplikasi pada
keringnya perilaku bermoral, dan ini akan berefek pada krisis sosial. Oleh
karena itu, perlu adanya keseimbangan (balancing) antara keputusan moral dan
rasional dalam pendidikan (Islam). Dari situ, menarik untuk menelanjangi konsep
(pendidik) dalam pendidikan Islam dengan pisau bedah al-Ghazali, yang memang secara
esensial mempertimbangkan aspek moral dan rasional dalam ulasan-ulasan
pemikirannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik merupakan orang tua; pewaris
para Nabi; pembimbing; figur sentral; motivator (pendorong); orang yang
semestinya memahami tingkat kognisi (intelektual) peserta didik, dan teladan
bagi peserta didik.
Etika
Pendidik Perspektif Al-Ghazali & Analisis Selanjutnya, berkaitan dengan
etika (sikap, perilaku, dan tanggung jawab) seorang pendidik profesional dalam
menjalankan tugasnya, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal yang harus dimiliki
dan dilakukan seorang pendidik. Hal ini sebagai landasan etika-moral bagi para
pendidik (guru/dosen/
seprofesinya). Gagasan-gagasan al-Ghazali tersebut antara lain sebagai
berikut.:
1) Pendidik
merupakan Orang Tua bagi Peserta Didik.
Seorang pendidik harus memiliki kasih
sayang kepada peserta didiknya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya
sendiri, jika ia ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Sebuah hadits
menyatakan: “Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi
anakny”. Hadits tersebut menuntut seorang pendidik agar tidak hanya sekedar
menyampaikan materi pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti
orang tua kepada anak. Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya,
bagaimana anaknya besok hidup, maka pendidik pun harus memikirkan masa
depanpeserta didiknya. Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta
didik saat ini kurang mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik
sering tidak bisa tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh peserta
didik, apalagi sebagai orang tua.
Oleh
karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik
sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian,
bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk
kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri.
Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti
orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas
mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada
parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru
(pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua
terhadap anaknya. Orang tua –sering- hanya menjadi penyebab adanya anak
sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.
2) Pendidik sebagai Pewaris Para Nabi
Dalam
menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi, yakni
mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan
mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar
bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan
duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara
seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya
sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang
siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan
bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani
menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan
al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian
harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana
kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam memandang
pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak
Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru
(pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah,
balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan
diri kepada-Nya.”
Pernyataan
ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria
ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu,
ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan
proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya
sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau
amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan
mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak
mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
3) Dalam
menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti para Nabi
yakni
mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah SWT. dan bukan
mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya agar belajar
bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan
duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis. Sementara
seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi dirinya
sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali; “Barang
siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan
bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang dilayani
menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini
tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah
sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan –yang kontra dengan al-Ghazali- dalam
memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti
jejak Rasul Saw. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru
(pendidik) mengikuti jejak Rasulullah Saw.; maka ia tidak mencari upah,
balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan
diri kepada-Nya.”
Pernyataan
ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria
ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu,
ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan
proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya
sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau
amal dan semua aktivitas -yang bernilai ibadah- yang dikerjakan dengan tujuan
mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak
mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
Hal
itu sebagaimana pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya seorang pendidik tidak lupa
memberikan nasihat kepada murid (peserta didik –pen.), yakni dengan melarangnya
mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat sebelumnya; dan belajar
ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Setelah itu menjelaskan
kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah;
bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”
4) Pendidik sebagai Figur Sentral bagi Peserta Didik
Al-Ghazali
memberi nasihat kepada para pendidik agar memposisikan diri sebagai teladan dan
pusat perhatian bagi peserta didiknya. Ia harus memiliki kharisma yang tinggi.
Ini merupakan faktor penting bagi pendidik untuk membawa peserta didik ke arah
yang dikehendaki. Di samping itu, kewibawaan juga menunjang perannya sebagai
pembimbing, penuntun, dan penunjuk jalan bagi peserta didik. Disamping pendidik
sebagai orang tua peserta didik dan sifat kasih sayang yang dimilikinya, adalah
bijaksana apabila pada saat tertentu pendidik juga sebagai teman belajar
peserta didik–sehingga terjadi proses dialogis. Hal ini dilakukan agar tidak
salah arah dalam memberikan bimbingan ke arah terwujudnya cita-cita pendidikan
yang dikehendaki.
Sebaliknya,
jika wibawa pendidik sudah tidak ada, maka akan dapat mengganggu jalannya
proses pendidikan. Oleh karena itu, peran pendidik sangatlah penting; dan dalam
menjalankan peranannya pendidik harus berwibawa di hadapan para peserta didik.
Upaya yang harus dilakukan dalam memperoleh wibawa adalah, mempunyai
intelektual yang tinggi, memperhatikan prinsip-prinsip belajar, dan kasih
sayang terhadap peserta didik. Pendidik tidak boleh membesar-besarkan kesalahan
peserta didik, mengejeknya, dan membuka aib di depan teman-temannya.
Pendidik
harus pandai-pandai memberi nasihat kepada para peserta didik. Dalam menegur
dan memperingatkan peserta didik yang salah, tidak boleh secara terang-terangan
dan harus melalui sindiran atau pemanggilan secara khusus; sebab menegur
peserta didik yang salah secara langsung dan terbuka, bisa membuat mereka malu,
down, sakit hati, dendam, dan hilang rasa hormatnya. Hal itu bisa menghambat
kelancaran prestasi belajarnya. Al-Ghazali menjelaskan; “Pendidik hendaknya
menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran dan tidak
dengan terus terang, tetapi dengan kasih sayang, tidak dengan cara mengejek;
sebab kalau dengan cara terus terang, peserta didik akan takut kepada pendidik,
dan/atau akan berani menentang pendidik”.
5)Pendidik sebagai Motivator (Pendorong) bagi Peserta
Didik
Sesuai
dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus
dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung
jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan
agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang
studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk
mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab
kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan
memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi
setingkat (steep by steep).
6) Pendidik
seharusnya Memahami Tingkat Kognisi (Intelektual) Peserta Didik
Menurut
al-Ghazali, usia manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan
intelektualnya. Anak berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak
berusia 6-9 tahun, anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun,
dan seterusnya. Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar pendidik dapat
menyampaikan ilmu dalam proses belajar mengajar dengan cermat dan sesuai dengan
perkembangan tingkat pemahaman peserta didik. Dari itu metode yang digunakan
harus tepat dan sesuai. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Pendidik hendaklah
menyampaikan bidang studi yang sesuai menurut tenaga pemahaman peserta didik”.
Jangan memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti
peserta didik lari atau otaknya tumpul.
Dalam
kaitan ini Whiterington, yang selanjutnya dikutip Abudin Ibnu Rusn, menulis
tentang periode pertumbuhan manusia sejak lahir sampai umur 3 tahun; dari umur
3 tahun sampai 6 tahun; 6 tahun hingga 9 tahun; 9 tahun hingga 12 tahun; 12
sampai 15; 15 sampai 18; dst. Meurutnya, pada periode-periode tersebut manusia
memiliki tanda dan aktivitas yang berbeda baik fisik maupun psikis. Oleh karena
itu, pendidik harus mengikuti perkembangan intelektual (kecerdasan) peserta
didik, sehingga bisa mengetahui gejala psikis mereka dan bisa memilih metode
mengajar dengan tepat.
Hal
ini sangat relevan dengan asas individualisasi peserta didik, yakni ada yang
pandai, setengah pandai, dan bodoh. Ada peserta didik yag aktif masuk, ada yang
setengah aktif, dan ada yang tidak aktif. Dengan mengetahui kondisi peserta
didik yang seperti itu, dimungkinkan pendidik tidak akan memberikan materi dan
pertanyaan yang salah arah, seperti memberikan materi dan pertanyaan yang
terlalu mudah bagi peserta didik yang pandai, atau sebaliknya memberikan
pertanyaan yang terlalu sulit untuk peserta didik yang bodoh.
Pendidik juga akan lancar memberikan materi pada peserta didik yang aktif
masuk, pun bisa sedikit mengulang materi yang telah diisampaikan kepada peserta
didik yang kurang aktif –yang mungkin kekurangaktifannya disebabkan karena
sakit atau yang lain yang tidak bisa disalahkan. Dengan begitu pendidik akan
selalu menjadi pusat perehatian peserta didik, mereka pun tidak menyepelekan dan
tetap menghormati pendidik.
7) Pendidik
sebagai Teladan bagi Peserta Didik
Dalam
rangka mengajak manusia ke jalan yang benar, Rasulullah dibekali oleh Allah
akhlak yang mulia sehingga beliau menjadi contoh yang baik (teladan) bagi
setiap umat manusia. Apa yang keluar dari lisannya sama denga apa yang ada di
dadanya, sehingga perbuatannya pun sama dengan perkataannya. Menurut
al-Ghazali, seorang pendidik juga harus demikian dalam mengamalkan ilmunya,
tindakannya harus sesuai dengan apa yang telah dinasihatkan kepada peserta
didik. Ajaran fundamental yang harus diberikan adalah yang berkaitan dengan
etika, moral (akhlak), dimana semuanya terhimpun dalam ajaran agama.
Di
negara kitra (Indonesia), pendidikan diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur … dan
seterusnya. Dengan begitu, pendidik sebagai orang yang paling berperan dalam
pendidikan, sebelum melaksanakan tugasnya, harus menjadi orang yang beriman,
bertakwa dan berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur). Tanpa memenuhi
persyaratan ini, mustahil akan terwujud manusia Indonesia seutuhnya sesuai
dengan rumusan di atas.
Para
pendidik dalam melaksanakan tugasnya, ibarat orang yang akan memberikan sesuatu
kepada orang lain. Mana mungkin pendidik tersebut bisa memberikan sesuatu yang
tidak dimiliknya. Untuk memberikan bekal iman dan takwa kepada peserta didik,
pendidik harus lah orang yang beriman dan bertakwa; sehingga tepat apa yang
dirumuskan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989, bahwa
untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, ia harus beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME. Berkaitan dengan ini al-Ghazali mengatakan:
“Perumpamaan
guru yang membimbing terhadap murid yang dibimbing itu seperti ukiran dari
tanah dan bayangan dari kayu. Maka bagaimanakah tanah itu akan terukir oleh
sesuatu yang tidak ada ukirannya, dan kapankah bayangan itu lurus kalau kayu
itu sendiri bengkok?”
Untuk
itulah wahai para pendidik, amalkan ilmu anda, jangan berlainan antara kata dan
perbuatan ingat dan camkan dua ayat di bawah ini;
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan)
kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu
membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?(al-baqarah:44)
Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada
bermanfaat bagimu pada hari kiamat. dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(As-shaf:3)
Dua
ayat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita sampaikan kepada orang lain
hendaknya telah kita kerjakan terlebih dahulu. Pendidik jangan sampai menyeru
terhadap peserta didik dengan sesuatu yang si pendidik sendiri tidak
megerjakannya. Dengan kata lain, si pendidik harus mengajarkan sesuatu yang
bermanfaat, dan kemanfaatan itu telah dilaksanakan oleh si pendidik sepanjang
kemampuannya.
C. ETIKA GURU MENURUT KH.
HASYIM ASYHARI
Etika guru dalam proses belajar mengajar
agama Islam menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitab Adabul Alim Wal Mutaallim,
adalah sebagai berikut :
1. Etika
Guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh setiap pribadi
guru
2. Etika
Guru dalam proses belajar mengajar
3. Etika bagi Guru terhadap murid
4. Etika terhadap kitab sebagai alat
pelajaran
Pemikiran KH. Hasyim Asyari mengenai etika
yang harus dipedomani oleh guru masih sangat relevan untuk diterapkan oleh guru
dalam proses belajar mengajar agama Islam pada saat ini. Hal ini juga dapat
dijadikan sebagai manivestasi kompetensi yang ia miliki untuk menggapai derajat
tertinggi baik dalam pandangan manusia maupun pandangan Tuhan.
a) Etika Seorang Guru
Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada
peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut :
1. selalu mendekatkan diri kepada Allah
2. senantiasa takut kepada Allah
3. senantiasa bersikap tenang
4. senantiasa berhati-hati
5. senantiasa tawadhu’ dan khusu’
6. mengadukan segala persoalannya kepada
Allah SWT
7. tidak menggunakan ilmunya untuk
keduniawian saja
8. tidak selalu memanjakan anak didik
9. berlaku zuhud dalam kehidupan dunia
10. menghindari berusaha dalam hal-hal yang
rendah
11. menghindari tempat-tempat yang kotor atau
maksiat
12. mengamalkan sunnah nabi
13. mengistiqomahkan membaca al-qur’an
14. bersikap ramah, ceria, dan suka menebarkan
salam
15. membersihkan diri dari perbuatan
yang tidak disukai Allah
16. menumbuhkan semangat untuk mengembangkan
dan menambah ilmu pengetahuan
17. tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya
18. dan membiasakan diri menulis, mengarang
dan meringkas
Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat menarik, yaitu tentang poin
yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang dan meringkas. Hal ini masih
sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi salah satu faktor mengapa
masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah. Padahal dengan adanya guru yang
selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu yang dia miliki akan terabadikan.
b) Etika
Guru dalam mengajar
Seorang guru ketika mengajar dan hendak
mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut :
1. mensucikan diri dari hadats dan kotoran
2. berpakaian yang sopan dan rapi serta
berusaha berbau wewangian
3. berniat beribadah ketika dalam mengajarkan
ilmu
4. menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh
Allah (walaupun hanya sedikit)
5. membiasakan membaca untuk menambah ilmu
pengetahuan
6. memberikan salam ketika masuk kedalam
kelas
7. sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli
ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita
8. berpenampilan yang kalem dan menghindarkan
hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
9. menghindarkan diri dari gurauan dan banyak
tertawa
10. jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi
lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain sebagainya
11. hendaknya mengambil tempat duduk yang
strategis
12. usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas
dan tidak sombong
13. dalam mengajar hendaknya mendahulukan
materi yang penting dan disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki
14. jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat
subhat yang dapat menyesatkan
15. perhatikan msing-masing kemampuan murid
dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu lama
16. menciptakan ketengan dalam belajar
17. menegur dengan lemah lembut dan baik
ketika terdapat murid yang bandel
18. bersikap terbuka dengan berbagai persoalan
yang ditemukan
19. berilah kesempatan pada murid yang datang
terlambat dan ulangilah penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud
20. dan apabila sudah selesai berilah
kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.
Dari pemikiran yang ditawarkan oleh hasyim asy’ari tersebut, terlihatlah
bahwa pemikirannya tentang etika guru dalam mengajar ini sesuai dengan apa yang
beliau dan kita alami selama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang beliau
fikirkan adalah bersifat fragmatis atau berdasarkan pengalaman. Sehingga hal
inilah yang memberikan nilai tambah begi pemikirannya.
c) Etika
Guru Bersama Murid
Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun
terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara
etika tersebut adalah :
1. berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam
2. menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar
keduniawian
3. hendaknya selalu melakukan instropeksi
diri
4. menggunakan metode yang sudah dipahami
murid
5. membangkitkan semangat murid dengan
memotivasinya, begitu murid yang satu dengan yang lain
6. memberikan latihan – latihan yang bersifat
membantu
7. selalu memperhatikan kemapuan peserta
didik yang lain
8. bersikap terbuka dan lapang dada
9. membantu memecahkan masalah dan kesulitan
peserta didik
10. tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’
kepada peserta didik yang satu dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab
yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid
juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan
bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan
yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki
dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama
yang lebih pada hasil pemikirannya.
SIMPULAN
Ibnu jamaah mengklasifikasikan etika guru untuk memudahkan pembahasan dan
memperjelas aspek-aspek yang berbeda, dengan konsep yang jelas. Beliau membagi
etika guru kedalam tiga bagian:
1. Etika
guru pada dirinya
2. Etika
guru pada muridnya
3. Etika
guru dalam mengajar.
Etika guru dalam proses belajar mengajar
agama Islam menurut KH. Hasyim Asyari dalam kitab Adabul Alim Wal Mutaallim,
adalah sebagai berikut :
1. Etika
Guru terhadap diri sendiri yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh setiap pribadi
guru
2. Etika
Guru dalam proses belajar mengajar
3. Etika
bagi Guru terhadap murid
4. Etika
terhadap kitab sebagai alat pelajaran
Berdasarkan
uraian panjang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa al-Ghazali merupakan
sosok pemikir Muslim yang betul-betul menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai basic pemikirannya. Dalam kaitannya dengan manusia sebagai pendidik
al-Ghazali menawarkan beberapa gagasan yang bermuatan rasional dan moral.
Al-Ghazali memberikan konsep pendidik (guru/dosen/seprofesinya) yang bersifat
humanis dan saling pengertian. Dengan begitu, eksistensi pendidik dan peserta
didik (murid/mahasiswa / seprofesinya)
tetap dihargai. Pendidik tidak dapat
memaksakan kehendaknya kepada peserta didik. Peserta didik juga harus hormat
kepada pendidik. Pendidik memberikan hak bertanya, berpendapat, dan berperilaku
sesuai dengan bakat, potensi, dan kecendrungan peserta didik. Walaupun begitu,
peserta didik harus tetap sopan dan santun kepada pendidik.