Rabu, 30 Desember 2015

SYARAH HADITS KEUTAMAAN ILMU

MUQADDIMAH
Ini adalah sebuah goresan kecil dan orang yang kecil untuk para penuntut ilmu. Hadits ini sangat penting sekali bagi seorang penuntut ilmu. Karena didalam nya mencakup banyak sekali pelajaran. Mulai dari keutamaan ilmu, keutamaan majelis ilmu, keutamaan penuntut ilmu dan keutamaan ahli ilmu. Dan ilmu yang dimaksud didalam hadits ini adalah ilmu agama bukan ilmu dunia. Risalah kecil ini kami beri judul
TEKS HADITS :
عَنْ كَثِيْرِ بِن قَيْسٍ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًاعِنْدَأَبِيْ الدَّرْدَاء فِي مَسْجِد دِمَشْقَ , فَأَتَاهُ رَجُلُ , فَقَالَ : يَاأَبَاالدَّرْدَاء , أَتَيْتُكَ مِنَ الْمَدِينَةمَدِيْنَةِ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه وسلّم لِحَدِيْثٍ بَلَغَنِيْ أَنَّك تُحَدِّث بِهِ عَنْ النَّبِيِّ .قَالَ : فَمَاجَاءَبِكَ تِجَارَةٌ؟ .قاَلَ : لاَ .قَالَ : وَلاَجَاءَبِكَ غَيْرُهُ؟ .قَالَ : لاَ .قَالَ : فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْل الله صلّى الله عليه وسلّم يَقُوْلُ : " مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا , سَهَّلَاالله لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ , وَإِنّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ , وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرَضِ حَتَّى الْحِيْتَانِ فِي الْمَاءِ , وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ ,كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِالْكَوَاكِبِ , إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُالأَنْبِيَاءِ , إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَدِرْهَمًا , إِنَّمَاوَرَّثُواالْعِلْمَ , فَمَنْ أَخَذَهُ , أَخَذَبِحَظٍّ وَافِرٍ "
---oOo---
TERJEMAHAN HADITS :
Dari Katsir bin Qais, dia berkata : “Ketika aku sedang duduk disebelah Abu Darda’ di Masjid Damaskus. Tiba – tiba datang seorang laki – laki kepadanya, lalu laki – laki itu berkata : “Wahai Abu Darda’, Aku datang kepada mu dari kota Madinah –kota Madinah Rasulullah- untuk keperluan sebuah hadits yang sampai kepada ku bahwa engkau pernah meriwayatkan nya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.” Abu Darda’ berkata : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk berdagang?”  Dia menjawab : “Tidak”  Abu Darda’ berkata lagi : “Apakah kamu datang (sekalian) untuk keperluan selain itu?” Dia (laki – laki itu) menjawab : “Tidak” Abu Darda’ berkata : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air. Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.”
---oOo---
TAKHRIJ HADITS :
1.     Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah didalam Sunan nya (hal 56), hadits no 223. Dari Katsir bin Qais. 
a. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah didalam Shahih Sunan Ibnu Majah, hadits no 183. 
b. Dihasankan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan kawan – kawan dalam takhrij Sunan Ibnu Majah (1/150-151) : “Hadits Hasan dengan penguat.”
2. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud rahimahullah didalam Sunan nya (hal 655), hadits no 3641. Dari Katsir bin Qais.
a. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah didalam Shahih Sunan Abu Daud, hadits no 3641 (penomoran sama).
b. Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Syaikh Muhammad Kamil hafizhahumullah mengatakan didalam takhrij Sunan Abu Daud (5/485) : “Hadits Hasan dengan penguat.”
3. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullah didalam Shahih nya, hadits no 88. Dari Katsir bin Qais.
a. Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : “Hadits Hasan.” (at-Ta’laqatul Hisan ‘ala Shahih Ibnu Hibban 1/203 – 204)
b. Syaikh Syu’aib al-Arnauth hafizhahullah berkata : “Isnad nya Lemah (Dhaif).” (Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban 1/289-290)
4. Diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah didalam Sunan nya (hal 604), hadits no 2682. Dari Qais bin Katsir.
a. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah didalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, hadits no 2682 (penomoran sama).
5. Diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi rahimahullah didalam Sunan nya hadits no 342. Dari Katsir bin Qais.
a. Syaikh Husain Salim didalam takhrij Musnad ad-Darimi mengatakan : “Sanad nya Lemah (Dhaif)” (Musnad Ad-Darimi hadits no 345 hal 361). 
b. Sedangkan Syaikh Fawwaz Zamrali dan Syaikh Khalid Al-Alimy berkata : “Sanad nya hasan” (Sunan Ad-Darimi juz 1 hal 110)
6. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah didalam Musnad nya, hadits no 21612 dan no 21613 dalam cet musnad yang lain hadits no 21715 no 21716. Dari Katsir bin Qais.
a. Syaikh Hamzah Az-Zain hafizhahullah berkata : “Sanad nya Hasan” (Musnad Ahmad juz 16 hal 71).
b. Syaikh Syu’aib dan kawan – kawan hafizhahumullah berkata : “Hadits ini Hasan Lighairihi dan Sanad ini nya Dhaif.” (Musnad Ahmad juz 36 hal 45-49).
7. Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi rahimahullah didalam Syarhus Sunnah nya, hadits no 129. Dari Daud bin Jamil dari Katsir bin Qais.
a. Syaikh Syu’aib dan Syaikh Muhammad berkata didalam takhrij Syarhus Sunnah : “Hadits Hasan” (Syarhus Sunnah dan Takhrijnya, juz 1 hal 275-276)
8. Diriwayatkan juga oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah didalam Al-Jami’ li Syu’abul Iman juz 3 hal 220 – 222, hadits no 1573 dan 1574.
9. Diriwayatkan juga oleh Imam Abdil Barr rahimahullah didalam Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlih hal 168 – 170, hadits no 173 – 177.
10. Dibawakan juga oleh Imam Al-Mundziri rahimahullah didalam At-Targhib wa Tarhib hal 43, hadits no 106. 
a. Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata didalam Shahih At-Targhib wa Tarhib (1/138) : “Hasan Lighairihi”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh para Ulama rahimahumullah lain nya didalam kitab mereka, namun kami hanya mencukupkan dari kitab yang kami sebutkan diatas saja.
Sebagian riwayat mencantumkan Katsir bin Qais, sebagian riwayat yang lain menyebutkan Qais bin Katsir. Yang rajih, insya’Allah Katsir bin Qais. Sebagaimana yang disebutkan para Ulama rahimahumullah. Silahkan lihat biografi nya didalam Taqribut Tahdzib hal 515 no 5624 dan Tahdzibut Tahdzib juz 3 hal 646.
---oOo---
PENGUAT HADITS :
Berikut ini saya bawakan penjelasan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan kawan – kawan tentang penguat hadits diatas didalam takhrij Musnad Ahmad juz 36 hal 47 – 48 secara ringkas dan saya tambahkan beberapa penguat hadits dan komentar para ulama tentang hadits tersebut, yang saya anggap mampu menaikan hadits diatas menjadi hadits Hasan bahkan bisa menjadi Shahih, Insya’Allah.
1. Penguat lafadz hadits “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.” Adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (12/393) hadits no 2427. Dengan sanad yang Shahih sesuai syarat Shahihain.
2. Penguat lafadz hadits “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu.” Adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (30/9) hadits no 18089. Dengan sanad yang Hasan.
3. Penguat lafadz hadits “Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air. Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. ” Adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunannya (hal 605) hadits no 2685. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah. Juga diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani rahimahullah didalam Al-Ausath hadits no 6215. Dengan sanad yang Hasan. Dan juga diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi didalam Sunan nya, hadits no 289. Dengan derajat yang Hasan.
4. Penguat lafadz hadits “Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.” Dibawakan oleh Imam As-Sakhawi rahimahullah didalam kitab nya Al-Maqashid Al-Hasanah hal 286.
5. Imam al-Bukhari rahimahullah juga membawakan sebagian dari lafadz didalam Shahih nya, pada Kitab Ilmu : Bab 10 Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal, hal 18. “Dan bahwasanya ulama adalah pewaris para Nabi dan mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, niscaya ia telah mengambil bagian yang cukup. Barangsiapa yang menemupuh jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata ketika mensyarah ini : “Potongan ini dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim yang telah menshahihkan nya dari hadits Abu Dar’da Radhiyallahu’anhu dan telah dihukumi hasan oleh Hamzah al-Kinani. Selain mereka, hadits ini telah dinyatakan dhaif, karena pada sanadnya terdapat kelemahan. Namun, hadits ini memiliki Syahid (riwayat penguat) yang menguatkan nya.”
KESIMPULAN : Dengan demikian, hadits ini secara keseluruhan nya derajatnya Hasan Shahih, Insya’Allah.
---oOo---

SYARAH TEKS HADITS :
رَسُوْلَ الله صلّى الله عليه وسلّم يَقُوْلُ : " مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا , سَهَّلَ الله لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ ."
Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.”
Lafazh “Jalan طريقا dan ilmu علما disebutkan dalam bentuk nakirah yakni isim yang belum jelas penunjukan nya dan masih umum. Sehingga termasuklah kedalam hadits ini semua bentuk jalan menuju ilmu dan juga termasuk kedalam nya sedikit maupun banyak ilmu yang dipelajari nya.
Jalan disini mencakup jalan yang bersifat nyata dan jalan yang bersifat abstrak. 
a. Jalan yang bersifat kongkrit (nyata) yakni seseorang pergi dari rumahnya menuju majelis ilmu. 
b. Sedangkan jalan yang bersifat abstrak yakni seseorang membaca buku agama, mengambil faidah darinya kemudian mengamalkan nya.
Apa yang dimaksud dengan ilmu?
اَلْعِلْمُ إِدْرَاكُ الشَّيْءِ عَلَىمَا هُوَعَلَيْهِ إِدْرَاكَا جَازِمًا
"Ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana hakikat yang sebenarnya dengan pengetahuan yang pasti."
Dan yang dimaksud ilmu didalam hadits ini adalah Ilmu Agama, bukan Ilmu dunia. Karena ilmu dunia, orang kafir pun bisa menguasai nya. Adapun ilmu agama, maka dia adalah kekhususan seorang Muslim.
Dengan ilmu agama, seorang muslim bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.
Dengan ilmu agama, seorang muslim bisa mengetahui mana jalan yang dapat mengantarnya menuju surga dan mana jalan yang dapat menjerumuskan nya ke neraka.
Dengan ilmu agama, seorang muslim bisa mengetahui apa saja yang dapat menyebabkan diterima nya amal dan apa saja yang menyebabkan ditolaknya amal.
Intinya, dengan ilmu agama, Allah memudahkan jalan bagi nya jalan menuju surga yakni dengan cara menuntut ilmu dan mengamalkan ilmunya.
Sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam selanjutnya
وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
“Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu.”
Ini menunjukkan kecintaan, penghargaan, pemuliaan dan penghormatan para malaikat terhadap para penuntut ilmu, sehingga mereka –yakni para malaikat- melebarkan sayap – sayap mereka bagi para penuntut ilmu, karena ridha terhadap penuntut ilmu.
Ilmu agama adalah ilmu yang mulia, yang diturunkan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, yang dibawa oleh utusan yang mulia, dan disampaikan oleh manusia yang mulia pula. Maka orang - orang mempelajarinya adalah orang mulia lagi dimuliakan.
Maksud dari meletakkan sayap – sayap nya adalah menjaga, melindungi dan membentengi para penuntut ilmu dengan izin Allah. Seandainya hanya ini saja yang diperoleh seorang penuntut ilmu, tentunya itu sudah merupakan kemuliaan dan kehormatan tersendiri bagi para penuntut ilmu.
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam selanjutnya :
وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرَضِ حَتَّى الْحِيْتَانِ فِي الْمَاءِ
“Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air.”
Makhluk disini mencakup umum yakni seluruh makhluk, makhluk dilangit adalah para Malaikat yang mulia. Sedangkan makhluk dibumi mencakup seluruh binatang dan sebagainya, baik yang berbunyi maupun yang tidak berbunyi, baik yang kecil maupun yang besar. Mereka semua memohon ampunan bagi seorang penuntut ilmu. Karena dengan sebab ilmu, terjaga nya keamanan, kelestarian dan kelangsungan hidup di muka bumi ini bagi generasi berikut nya sampai hari kiamat tiba.
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ  ,كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ 
“Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang.”
Ini menujukkan keutamaan Ahli Ilmu atas Ahli Ibadah yang bukan Ahli Ilmu. Bukan berarti hadits ini menunjukkan ahli ilmu tidak beribadah, tidak demikian. Akan tetapi maksud nya keutamaan orang yang Ahli Ilmu kemudian mengamalkan ilmu nya, itu jauh diatas keutamaan Ahli Ibadah yang bukan ahli Ilmu.
Ini merupakan perumpamaan yang sangat jelas dan tepat. Untuk mengumpamakan ahli ilmu dan ahli ibadah. Dimana Ahli ilmu diumpamankan (dimisalkan) seperti bulan, sedangkan Ahli ibadah diumpamakan seperti bintang. Kenapa demikian? Karena cahaya bulan menerangi penjuru bumi dan meluas keseluruh arah. Sehingga manusia dapat mengambil faidah dari nya. Seperti itulah ilmu seorang ulama yang bermanfaat bagi orang lain dan menyebar keseluruh arah.
Adapun bintang – bintang, cahaya nya tidak melewati dirinya sendiri atau hanya sampai kepada sesuatu yang terdekat darinya. Begitu juga ibadahnya hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, dan orang disekitarnya.
Dalam perumpamaan ini terdapat faidah bahwa kebodohan seperti malam yang gelap gulita, sedangkan para ulama seperti bulan, sedangkan para ahli ibadah seperti bintang. Maka dalam kegelapan itu, keutamaan cahaya seorang ulama seperti keutamaan cahaya bulan atas cahaya bintang. Disamping itu, tegaknya agama adalah karena ditopang, dihiasi, dan diterangi oleh para Ulama dan Ahli Ibadah. Apabila para ulama dan ahli ibadah hilang, maka hilanglah agama, sebagaimana langit yang dihiasi dan diterangi oleh bulan dan bintang. Jika bulan dan bintang hilang dari langit, maka datanglah hari kiamat yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Mungkin ada yang bertanya, “Kenapa para Ulama tidak diserupakan dengan matahari, padahal cahaya matahari lebih besar?”
Maka jawaban nya adalah : 

Dalam perumpamaan tersebut terdapat dua hal yang sangat penting :

Pertama : Karena cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari, maka orang yang berilmu yang mengambil ilmunya dari al-Qur’an dan as-Sunnah lebih sesuai jika diserupakan dengan bulan daripada matahari. Sebab ilmu dia merupakan pantulan dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber ilmu islam, seperti cahaya bulan yang berasal dari pantulan cahaya matahari.
Kedua : Karena cahaya matahari tetap, tidak berubah, dan tidak memiliki tingkatan. Sedangkan cahaya bulan, terkadang cahanya sedikit, terkadang sedang, terkadang banyak dan penuh dan seterusnya, seperti itulah para Ulama yang mana keilmuan mereka pun bertingkat – tingkat. Ada yang memiliki ilmu yang sedikit, ada yang sedang, ada yang banyak. Perbedaan tingkatan para ulama bagaikan perbedaan keadaan cahaya bulan. Dari bulan purnama yang sempurna, lalu berkurang sedikit, sedikit demi sedikit hingga pada keadaan yang paling akhir. Disisi Allah Subhanahu wa ta’ala, kedudukan para ulama pun berbeda – beda.
Mungkin ada juga yang bertanya? Kenapa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sahabat – sahabatku seperti bintang” Sedangkan para ulama diumpamakan seperti bulan?
Jawab nya : Perumpamaan ulama seperti bintang, itu hanya perumpamaan pada posisi keutamaan para ulama atas para ahli ibadah. Yakni para ulama melampaui ahli ibadah yang bukan ulama. Adapun secara umum maka perumpamaan para ulama seperti bintang, karena bintang dipakai sebagai petunjuk dalam kegelapan didarat dan dilaut, demikian pula dengan para ulama. Bintang – bintang adalah penghias langit dan ulama adalah penghias dibumi. Bintang menjadi penghalang bagi para syaithan agar tidak mencuri berita dari langit. Demikian juga para ulama, mereka menjadi lemparan penghalang bagi syaithan dari kalangan manusia yang membisikan syubhat (keraguan) dan ajaran sesat kepada manusia. Para ulama menjadi penghalang bagi kelompok jahat itu untuk melakukan aktivitas mereka. Seandainya tidak ada para ulama, maka hancurlah ajaran agama Islam ini, karena pemalsuan orang – orang sesat. Maka dari itu Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan para ulama sebagai penjaga bagi agama-Nya dan sebagai penghalang bagi musuh – musuh para Rasul-Nya dan ini adalah bentuk keserupaan para ulama dengan bintang.
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam selanjutnya :

إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ , إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَدِرْهَمًا , إِنَّمَاوَرَّثُواالْعِلْمَ , فَمَنْ أَخَذَهُ , أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ 

“Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna.”
Para ulama adalah pewaris Nabi, ini merupakan keistimewaan yang paling besar bagi ahli ilmu. Sesungguhnya para Nabi adalah hamba Allah yang terbaik, maka para pewaris mereka juga merupakan orang – orang terbaik setelah mereka.
Para Ulama adalah pewaris para Nabi, karena para Ulama mewarisi ilmu agama yang dibawa oleh para Nabi. Para ulama juga mewarisi dan melanjutkan dakwah para Nabi. Dengan demikian, secara tidak langsung hal ini menunjukkan bahwa para ulama adalah orang yang terdekat dengan para Nabi, karena hanya orang yang terdekatlah yang dapat warisan sebagaimana dalam pewarisan harta.
Adapun sabda beliau bahwa para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham tapi mewariskan ilmu, ini menunjukkan kesempurnaan para nabi dan besarnya kebaikan mereka terhadap umat nya, serta menunjukkan kesempurnaan nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala atas mereka.
Hikmahnya kenapa para Nabi tidak meninggalkan harta warisan kepada kaum kerabatnya adalah sebab jika para nabi mewarisi harta maka para nabi akan dicurigai sebagai orang – orang yang mengejar kekuasaan dan harta, dan ingin mengambil harta manusia hingga menjadi harta warisan mereka kelak. Maka dari itu para nabi tidak meninggalkan sedikit pun harta warisan untuk keluarga mereka, semua harta mereka menjadi sedekah. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kami para Nabi tidak memberi warisan. Apa yang kami tinggalkan semua nya merupakan sedekah.” [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih nya hadits no 6726]
“Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna”
“Bagian بحظ yakni jatah atau bagian. “Yang banyak وافر yakni yang sempurna.
Yakni barangsiapa mempelajari ilmu, maka dia telah mengambil bagian, baik sedikit maupun banyak. Walaupun sedikit ilmunya yang diambilnya, namun jika ia mengamalkan nya dan disebarkan, maka banyaklah manfaatnya. Apabila pemiliknya meninggal dunia, maka kebaikan ilmu agama yang telah diajarkan nya akan tetap sampai kepada pemiliknya.
---oOo---

FAIDAH HADITS :
Secara umum ada 4 faidah dari hadits ini :
1. Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan ilmu.
2. Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan ahli ilmu.
3. Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan orang yang mempelajari ilmu.
4. Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan majelis ilmu.
Secara rincian, ada 26 faidah sebagai berikut :
رَسُوْلَ الله صلّى الله عليه وسلّم يَقُوْلُ : " مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا , سَهَّلَ الله لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ ."
Rasulullah Shallallahualaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.”
5. Hadits ini menjadi dalil dianjurkan nya melakukan perjalanan untuk mencari ilmu.
6. Hadits ini menjadi dalil bahwa ilmu itu harus didatangi.
7. Hadits ini juga menganjurkan agar kita mendatangi majelis ilmu dan duduk dimajelis ilmu.
8. Hadits ini juga menjadi dalil tentang wajib nya mengamalkan ilmu yang telah diketahui.
9. Hadits ini juga memberikan kabar gembira bahwa orang yang mempelajari ilmu, maka perjalanan nya menuju surga akan lebih mudah.
10. Hadits ini juga memberikan peringatan bagi orang tidak mau mempelajari ilmu. Dan isyarat bahwa orang tidak berilmu, jalan nya menuju surga akan sulit.
11. Hadits ini menjadi dalil tentang anjuran membantuan para penuntut ilmu. Bisa berupa membiayai mereka untuk belajar atau membantu mereka didalam menyebarkan ilmu.
وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ 
“Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap nya. Karena ridha kepada penuntut ilmu.”
12. Hadits ini juga menjelaskan tentang pemuliaan para malaikat terhadap ilmu dan terhadap orang mencari ilmu.
13. Hadits ini menjelaskan bahwa para malaikat senang dan cinta kepada para penuntut ilmu.
14. Hadits ini menjelaskan bahwa para penuntut ilmu dijaga dan dilindungi oleh para Malaikat dengan izin Allah.
وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالأَرَضِ حَتَّى الْحِيْتَانِ فِي الْمَاءِ
Sesungguhnya orang menuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada didalam air.
15. Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan yang besar bagi para penuntut ilmu, yakni bahwa dia akan dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada dilangit dan dibumi.
16. Hadits ini menjelaskan bahwa diantara sebab terhapus nya dosa adalah dengan menuntut ilmu.
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ ,كَفَضْلِ الْقَمَرِعَلَى سَائِرِالْكَوَاكِبِ 
“Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang.” 
17. Hadits ini menjelaskan tentang kedudukan para Ulama dibandingkan kedudukan para Ahli Ibadah yang bukan Ulama. Dimana kedudukan para Ulama lebih tinggi dibandingkan kedudukan para Ahli Ibadah.
18. Hadits ini menjelaskan manfaat yang diberikan para Ulama itu lebih besar bagi manusia dari pada manfaat yang diberikan para Ahli Ibadah.
19. Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang mempelajari ilmu, kemudian mengamalkan nya, kemudian dia menyebarkan ilmu nya, itu lebih baik dari pada orang yang hanya mempelajari ilmu kemudian dia mengamalkan nya, tanpa menyebarkan nya.
20. Hadits ini menjelaskan bahwa kebodohan itu seperti malam yang gelap gulita. Sedangkan ilmu adalah seperti cahaya. 
21. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa berilmu terlebih dahulu baru beramal. Sebagaimana Rasulullah mendahulukan para Ulama dibandingkan para Ahli Ibadah didalam hadits tersebut.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ , إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَدِرْهَمًا , إِنَّمَاوَرَّثُواالْعِلْمَ , فَمَنْ أَخَذَهُ , أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ 
“Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi. Dan Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham. Tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak.” 
22. Hadits ini menjelaskan kedudukan para Ulama didalam Islam, yakni mereka adalah pewaris para Nabi.
23. Hadits ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam adalah Nabi yang terakhir dan penutup para Nabi. Hal ini dapat dilihat dari sabda beliau : “Para ulama adalah pewaris para Nabi.”
24. Hadits ini menjadi dalil bahwa para Nabi tidak memberikan harta warisan kepada keluarga nya.
25. Hadits ini menjadi dalil bahwa ilmu adalah warisan para Nabi.
26. Hadits ini menjadi dalil bahwa ilmu yang benar adalah ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena itulah yang ditinggalkan oleh Rasulullah  hallallahu’alaihi wa sallam kepada Umat ini. Adapun ilmu yang dibangun diatas hawa nafsu dan akal, maka itu bukanlah ilmu dan orang yang memiliki nya, bukanlah ahli ilmu. Seperti filsafat, maka ahli filsafat bukanlah ulama. Karena filsafat dibangun diatas akal.
27. Hadits ini mengisyaratkan bahwa ulama yang sebenar – benar nya ulama adalah ulama yang mewarisi ilmu para nabi, dakwah para nabi, mengikuti petunjuk para nabi dalam menyampaikan agama. Yakni cara berdakwah dengan penuh kesabaran, dan kelemah lembutan. Membalas kejahatan manusia dengan kebaikan, dan mengajak manusia ke jalan Allah dengan cara yang terbaik, serta selalu berusaha memberikan nasehat kepada manusia untuk menunaikan kewajiban nya. 
28. Hadits ini juga merupakan peringatan kepada ulama agar mendidik umat sebagaimana orangtua mendidik anak nya. Maka mereka harus mendidik umat secara bertahap dan bertingkat, mulai dari pengetahuan yang dasar sampai yang tinggi, mulai dari yang kecil sampai ke yang besar. Mereka juga hanya membebankan kepada umat apa yang mampu mereka pikul, sebagaimana yang dilakukan seorang bapak kepada anaknya. 
29. Hadits ini juga merupakan dalil tentang wajibnya menghormati dan mencintai para Ulama. Mentaati mereka dalam perkara – perkara yang baik. Bertanya kepada mereka dalam permasalahan yang tidak dimengerti.
30. Hadits ini menjelaskan tentang keutamaan ilmu dibandingkan harta. Seandainya harta lebih utama dari pada ilmu, tentu para Nabi akan mewariskan harta kepada umat nya. Namun yang terjadi adalah sebalik nya. Ilmu adalah yang diwariskan oleh para Nabi.
31. Hadits ini menjelaskan bahwa seorang penuntut ilmu, adalah seorang pencari harta karun dan warisan para Nabi. Dan Para Ulama adalah pemberi harta warisan para Nabi tersebut.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai seorang penuntut ilmu, meneguhkan kita diatas jalan para penuntut ilmu dan memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat, melindungi kita dari ilmu yang tidak bermanfaat. Aamiin.

Kamis, 10 Desember 2015

TARBIYAH, TA’LIM DAN TA’DIB DALAM AL-QUR’AN DA AS-SUNNAH


I. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat strategis dalam membangun sebuah peradaban, khususnya peradaban yang Islami. Bahkan, ayat pertama  diturunkan oleh Allah sangat berhubungan dengan pendidikan. Proses dakwah Rasulullahpun dalam menyebarkan Islam dan membangun peradaban tidak lepas dari pendidikan Rasul terhadap para sahabat. Dimulai dari sebuah rumah kecil “Darul Arqom” sampai membentang ke seberang benua. Diawali beberapa sahabat sampai tersebar ke jutaan umat manusia di penjuru dunia. Sebuah proses yang pernah menorehkan sejarah peradaban yang membanggakan bagi umat Islam, Madinah Al Munawarah. Sejarahpun mencatat banyak Negara yang memperkokoh bangsanya ataupun bisa segera bangkit dari keterpurukan dengan upaya membangun pendidikan. Wajar, karena dari pendidikanlah lahir sebuah generasi yang diharapkan mampu membangun peradaban tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kemajuan pendidikan akan menjadi salah satu pengaruh kuat terhadap kemajuan atau kegemilangan sebuah peradaban.
Namun, konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka disadari atau tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam Al Qur’an dan Sunnah . Metode ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al Qur’an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan datang. Menyesuaikan dengan kemampuan manusia dalam membaca mukjizat tersebut . Dalam Surat Al-An’am ayat 38:
… Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
Ditegaskan juga dalam ayat lain, yaitu surat An Nahl ayat 89
“… kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Untuk itu menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi para muslim untuk memahami konsep pendidikan menurut Al Qur’an dan Al Sunnah. Konsep dasar yang perlu untuk dikaji berawal dari definisi atau pengertian pendidikan yang disandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah.
II. Pengertian Pendidikan dalam Pandangan AlQur’an dan As Sunnah
Sangat penting jika di awal kita memastikan pengertian pendidikan yang didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah. Karena berangkat dari pengertian inilah akan menjadikan pondasi yang akan menyangkut konsep bangunan pendidikan itu sendiri. Istilahpun akan memberikan pemahaman yang utuh, mengingat istilah tidaklah bebas nilai akan tetapi sarat akan nilai-nilai yang mengikutinya . Dalam hal pendidikan, bersandar pada Al Qur’an dan Hadith dikenal beberapa istilah yang dianggap mewakili pengertian tersebut. Hal ini disebabkan istilah pendidikan tidak disebutkan secara langsung dalam Al Qur’an dan Al Hadith . Sebenarnya, banyak istilah yang dianggap mendekati makna pendidikan, diantaranya Al Tansyi’ah, al Islah, Al Ta’dib atau al Adab, Al Tahzib, Al Tahir, Al Tazkiyyah, Al Ta’lim, Al Siyasah, Al Nash wa Al Irsyad dan al Akhlaq bahkan sumber lain menambahkan dengan istilah at Tabyin dan at Tadris .Namun, dalam persidangan dunia pertama mengenai pendidikan islam pada tahun 1977, menegaskan bahwa pendidikan didefinisikan sebagai Al Tarbiyah, Al Ta’lim dan Al Ta’dib secara bersama-sama.
Tarbiyah
Konsep tarbiyyah ( ) merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Perkataan “tarbiyyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik dari fi’il (kata kerja) seperti berikut :
a. Rabba, yarbu yang berarti tumbuh, bertambah, berkembang.
b. Rabbi, yarba yang berarti tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa
c. Rabba, yarubbu yang berarti memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memelihara.
Melalui pengertian tersebut, konsep tarbiyyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna. Ia bukan saja dilihat proses mendidik saja tetapi merangkumi proses mengurus dan mengatur supaya perjalanan kehidupan berjalan dengan lancar.
Berdasarkan penafsiran pada surat Al Fatihah ayat 2,
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” .
Terdapat penafsiran terhadap ayat tersebut yaitu Allah itu Pendidik semesta alam tak ada suatu juga dari makhluk Allah itu terjauh dari didikan-Nya. Allah mendidik makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan, menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu guna kesempurnaan hidupnya masing-masing.
Selain daripada Allah sebagai Pendidik, manusia juga boleh menjadi pendidik berdasarkan firman Allah:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”.
Walaupun ayat ini dalam beberapa tafsir banyak menitikberatkan pembahasan pada kewajiban anak terhadap orang tua, namun kata “Rabba” yang diartikan mendidik memberikan pembentukan istilah darinya yaitu tarbiyyah yang berarti diartikan sebagai pendidikan.
Kata Al Rabb juga berasal dari kata tarbiyyah yang berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaannya secara bertahap.
Didalam Al Qur’an, kata rabba diartikan mengasuh seperti pada surat Al Syu’ara, ayat 18
“Fir’aun menjawab: “Bukankah kami Telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.”

Penggunaan kata tarbiyah, secara bahasa juga banyak digunakan oleh masyarakat Arab untuk makhluk hidup selain manusia (hewan dan tumbuhan) yang membawa maksud memelihara, memelihara dan menernak.
Al Jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lainnya secara makna memiliki arti memberi makan, memelihara; yakni dari akar kata ghadza atau ghadzw yang mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya.
Tentu saja dari makna tersebut dan didasarkan pada penjelasan lainnya memberikan pengertian bahwa istilah tersebut mencakup pada segala hal yang bisa ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan tidak hanya terbatas pada manusia, padahal seperti yang telah ditunjukkan Al Attas bahwa pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia.
Menurut Al Attas, secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam, sebagaimana dipaparkan[21] :
1. Istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan sebagaimana dipergunakan di masa kini tidak bisa ditemukan dalam leksikon-leksikon bahasa Arab besar.
2. Tarbiyah dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al Qur’an dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama, tidak secara alami mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.
3. Jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan disusupkan ke dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya.
Dari beberapa penjelasan tersebut proses tarbiyah tidak mencakup langsung keterlibatan ilmu sebagai aspek penting dalam pendidikan. Tarbiyyah lebih menekankan pada proses memberikan kasih sayang. Walaupun tentu saja proses pengasuhan dan kasih sayang merupakan bagian yang sangat penting dalam pendidikan.
Tarbiyyah sebagai proses pengembangan (penumbuhan) diri sebagai pengembangan potensipun sangat diperlukan dalam proses pendidikan meskipun bersifat materi. Keahlian dan ketangkasan fisik sangat diperlukan disesuaikan untuk mengoptimalkan potensi masing-masing yang dididik, apalagi untuk menghadapi kondisi kehidupan modern yang semakin kompleks, namun setidaknya hal tersebut tidak mempersempit atau mengaburkan dari proses atau konsep utama pendidikan dalam islam itu sendiri.
Firman Allah,
“ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ….”
Ta’lim
Perkataan ta’lim (تعليم) pula dipetik dari kata dasar ‘allama  (علّم, yu‘allimu ( يعلّم) dan ta’lim (تعليم)
Dalam surat Al Jum’ah ayat 2,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Dalam surat yang diturunkan di Madinah tersebut menggunakan yu’allimu, yang merupakan salah satu kata dasar yang membentuk istilah ta’limYu’allimu diartikan dengan mengajarkan, untuk itu istilah ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran (instruction).
Dari ayat tersebut juga bisa dimaknai bahwa Rasulullah juga seorang mu’allim, hal ini memperkuat sungguh dari beliau adanya keteladanan, termasuk bagaimana seharusnya menjadi seorang muallim. Bahkan hal tersebut merupakan nikmat Allah bagi orang-orang mukmin, sebagaimana firmanNya,
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dalam surat yang lain, Allah berfirman,
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Dari 2 ayat tersebut juga didapatkan penggunaan yu’allimu yang diartikan mengajarkan dan membentuk kata ta’lim yang berarti bisa diartikan sebagai pengajaran.
… padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat[78] di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya[79]. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.”
Diriwayatkan bahwa kaum Yahudi bertanya kepada Nabi SAW beberapa kali tentang beberapa hal dalam Taurat. Semua pertanyaan mengenai isi Taurat, dijawab oleh Allah dengan menurunkan ayat. Ketika itu mereka menganggap bahwa ayat tersebut dirasakan sebagai bantahan terhadap mereka. Mereka berkata dengan sesamanya: “Orang ini lebih mengetahui daripada kita tentang apa yang diturunkan kepada kita.” Di antara masalah yang ditanyakan kepada Nabi SAW ialah tentang sihir .
Allah SWT. berfirman ,
Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Allah SWT. berfirman ,
“Yang Telah mengajarkan Al Quran”.
Allah SWT. berfirman ,
“Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.”
Allah SWT. berfirman ,
“…. Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu Maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); Sesungguhnya Aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan Aku akan menyalibmu semuanya”.
Allah SWT. berfirman ,
“…. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. … “.
Allah SWT. berfirman ,
“Musa Berkata kepada Khidhr: “Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?”
Allah SWT. berfirman ,
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan Telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. …”
Allah SWT. berfirman ,
“Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya’qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”
Allah SWT. berfirman ,
“… dan (juga karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”
Allah SWT. berfirman ,
“…. akan tetapi (Dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Allah SWT. berfirman ,
“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab, hikmah, Taurat dan Injil.”
Al Kitab pada ayat tersebut ada yang menafsirkan dengan pelajaran menulis, dan ada pula yang menafsirkannya dengan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya selain Taurat dan Injil.
Allah SWT. berfirman,
“ …. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Allah SWT. berfirman,
31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
32. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari dua ayat tersebut, M. Tholib memberikan pengertian bahwa ketika malaikat enggan mematuhi perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam dengan alasan mereka merupakan makhluk yang baik, sedangkan manusia merupakan makhluk yang masih dipertanyakan kebaikannya, maka Allah SWT memberikan keistimewaan kepada Adam dengan memberitahukan nama-nama benda yang terdapat dihadapan Adam. Setelah itu Allah SWT memperlihatkan benda-benda tersebut kepada para Malaikat agar mereka menyebutkan nama-namanya, ternyata Malaikat tidak dapat menyebutnya. Hal ini disebabkan karena mereka tidak tahu nama-namanya walaupun mereka melihat benda-benda tersebut, sebab mereka tidak diberitahu oleh Allah SWT nama-nama benda itu. Para Malaikat dengan jujur menjawab bahwa mereka tidak tahu, mereka pun menjelaskan alasannya yaitu belum diberitahu oleh Allah SWT. Adam as kemudian diperintahkan oleh Allah SWT menyebutkan nama-nama benda yang telah Allah SWT beritahukan dihadapan para Malaikat, para Malaikat menyadari kekurangannya dihadapan Adam as dan disaksikan oleh Allah SWT.
Selanjutnya Thalib mengatakan bahwa Ta’lim memiliki arti memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu .
Allah SWT. berfirman,
“ Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Allah SWT. berfirman,
“Yusuf berkata: “Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan Aku Telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. …”
Allah SWT. berfirman,
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang Telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu[400], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)[401]. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.”
Sedangkan penggunaan ‘allama (N¯=tæ) juga didapatkan pada hadith Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang mengajarkan suatu ilmu maka dia memperoleh pahala orang yang mengamalkannya”
Dalam hadith lain, Rasulullah bersabda,
“Diantara amal dan kebaikan yang menyusul seseorang sesudah matinya adalah: ilmu yang dia ajarkan dan sebarluaskan, …”
Sa’ad bin Abu Waqqash r.a berkata:
كُـنَّا نُعَـلِّمُ أَوْلاَدَنَا مَغـَازِىْ رَسُوْلِ اللهِ صَـلىَّ اللهُ عَلَيـْهِ وَسَـلَّمَ كَمَـا نُعَلِّمُـهُمُ السُّـوْرَةَ مِـنَ الْقُـرْآنِ
Kami mengajar anak-anak kami riwayat hidup Rasulullah SAWSeperti kami mengajarkan satu surat dari Al Qur’an
Kata dasar yuallimu terdapat di beberapa firman Allah SWT. Yaitu
“ Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, …”
Istilah Mu’allim atau pengajar yang berarti orang yang melakukan pengajaran, juga di munculkan dalam hadith, Nabi Muhammad SAW. bersabda,
اعملوا بطاعة الله و اتقوا معاصى الله و مروا اولادكم بامتثال الاوامر, و اجتناب النواهى, فذالك و قاية لهم و لكم من النّار
“Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka ”
Dalam hal ini ungkapan (اعملو) diberikan kepada orang tua yang berlaku sebagai mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau yang diajari adalah anak-anaknya.
Umar ibn Khatab berkata:
علموا اولادكم الرماية و الصباحة و مروهم ان يثبوا على الخيل وثبا
Ajarkanlah memanah dan berenang kepada anak-anak kamu, dan suruhlah mereka melompat keatas kuda dengan sekali lompatan”
Rasulullah bersabda[54],
من دخل مسجدنا هذا ليعلّم خيرا او ليتعلّم كان كا المجاهد فى سبيل الله
Barang siapa masuk masjid kami ini untuk tujuan mengajarkan kebaikan atau untuk belajar, maka dia bagaikan orang berperang di jalan Allah”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,
ما من رجل يعلم ولده القرأن فى الدنيا الاّ توّج ابوه بتاج فى الجنّة يعرفه به اهل الجنّة بتعليم ولده القرأن فى الدنيا
“Tidaklah seseorang mengajarkan Al Qur’an kepada anaknya di dunia kecuali ayahnya pada hari kiamat dipakaikan mahkota surga. Ahli surgamengenalinya dikarenakan dia mengajari anaknya Al Qur’an di dunia”
Dalam hadith lain, Rasulullah bersabda
تعلّمو القرأن فأقرؤوه فانّ مثل القرأن لمن نعلّمه و قرأه و قام به كمثل جراب محشوٍّ مسكا يفوح ريحه فى كلّ مكان
“Belajarlah Al Qur’an, lalu bacalah. Sesungguhnya perumpamaan Al Qur’an bagi orang yang mempelajari, membaca dan beribadah malam dengannya bagaikan tempat yang dipenuhi minyak kesturi yang semerbak bau harumnya di setiap tempat”
Juga sabda beliau,
خيركم من تعلّم القرأن و علّمه
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya”
Dalam hadith ini secara lengkap disebutkan Ungkapan ta’alim (تعلّم), sedangkan ilmu yang dipelajari adalah Al Qur’an serta disebutkan pihak yang mengajarkannya.
Kemudian, kepada sahabat Rasulullah bersabda
ما اجتمع قوم فى بيت من بيوت الله يتعلّمون كتاب الله و يتدارسونه بينهم الاّ نزلت عليهم السكينة و غشيتهم الرحمة و حفّتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده
“Sekelompok masyarakat tidak berkumpul di masjid mempelajari kitab Allah dan bertadarrus diantara mereka, kecuali turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi rakhmat, dikerumuni malaikat dan Allah membanggakan mereka kepada makhluk hidup disisinya”
Ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Misalnya pada surat Yusuf, ayat 6, berarti ilmu pengetahuan yang dimaksud, diajarkan atau dialihkan kepada Nabi adalah tabir mimpi. Sedangkan pada surat Al Maidah ayat 4, ilmu yang dimaksud adalah ilmu berburu.
Ta’lim juga mewakili ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu. Dari perkataan Sa’ad bin Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat Rasulullah, diajarkan sehingga menjadi tahu.
Namun, istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan fungsinya didunia ini menurut Al Qur’an dan As Sunnah.
Ta’dib تأديب 
Ta’dib ( ) berasal dari kata addaba (أدّب), yuaddibu (يأدّب) dan ta’dib (تأديب).
Ta’dib sebagai istilah yang paling mewakili dari makna pendidikan berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadith dikemukakan oleh Syed Naquib Al Attas[61]. Al Attas memaknai pendidikan dari hadith,
أَدَّبَنِى رَبِّى اَحْسَنَ تَأْدِِيْـبِى
Tuhanku (Allah) telah mendidikku dengan pendidikan yang terbaik
Addaba (أدّب ) diterjemahkan oleh Al Attas sebagai mendidik, yang menurut Ibnu Manzhur merupakan padanan kata allama dan oleh Azzat dikatakan sebagai cara Tuhan mengajar Nabi-Nya sehingga Al Attas mengatakan bahwa mashdar addaba (yakni ta’dib) mendapatkan rekanan konseptualnya di dalam istilah ta’lim.
Selanjutnya Al Attas menyampaikan[62],
”Dalam pendefinisian kita tentang ’makna’, kita katakan bahwa ’makna’ adalah pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuat sistem. Karena pengetahuan terdiri dari sampainya, baik dalam arti hushul dan wushul, makna di dalam dan oleh jiwa, maka kita definisikan ’pengetahuan’ sebagai pengenalan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membawa kepada pengenalan tentang tempat yang tepat dari Tuhan dalam tatanan wujud dan keperiadaan. Agar pengetahuan bisa dijadikan ’pengetahuan’, kita masukkan unsur dasar pengakuan di dalam pengenalan, dan kita definisikan kandungan pendidikan ini sebagai pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam keteraturan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepriadaan. Kemudian kita definisikan pendidikan, termasuk pula proses pendidikan, sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan.”
Hadith tersebut memperjelas bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah. Sehingga pendidikan yang beliau peroleh adalah sebaik-baik pendidikan. Dengan demikian dalam pendangan filsafat pendidikan Islam. Rasulullah merupakan pendidik utama yang harus dijadikan teladan[63].
Dalam hadith lain, Prof. Abdullah Nasih Ulwan[64], mengambil hadith yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ali r.a. untuk menjadi dasar penting terhadap pendidikan Al Qur’an untuk anak, bahwa Rasulullah bersabda:
أَدِّبُـوْا أَوْلاَدَكُمْ عَـلَى ثَلاَثِ حِصَـالٍ: حُبِّ نَبِـيِّكُمْ وَحُبِّ آلِ بَيْـتِهِ, وَتِـلاَوَتِ اْلقُـرْآنِ. فَإِنَّ حَمَـالَةَ الْقُـرْآنِ فِى ظِـلِّ عَـرْشِ اللهِ يَـوْمَ لاَ ظِـلَّ إِلاَّ ظِلُّـهُ مَعَ أَنْبِـيَآئِـهِ وَأَصْفِـيَآئِـهِ
“Didiklah[65] anak-anakmu dalam tiga hal: mencintai Nabimu, mencintai keluarga nabi, dan membaca Al Qur’an. Maka sesungguhnya yang membaca Al Qur’an berada dalam naungan Nya, bersama para Nabi dan orang-orang Suci”
Sebenarnya istilah ta’dib sudah sering digunakan oleh masyarakat arab pada jaman dahulu dalam hal pelaksanaan proses pendidikan. Perkataan adab dalam tradisi arab dikaitkan dengan kemuliaan dan ketinggian pribadi seseorang[66].
Dalam hadit lain[67], Rasulullah bersabda:
أدّبوا اولادكم و احسنوا ادابهم
“Didiklah anak-anak kamu dengan pendidikan yang baik”
علموا اولادكم و أهليكم الخير و أدبوهم
“Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka”
لأن يؤدّب الرجل ولده خير من ان يتصدق بصاع
“Seorang yang mendidik anaknya itu lebih baik daripada bersedekah satu sha”
اكرما اولادكم و احسنوا ادا بهم
“Muliakan anak-anak kalian dengan adab yang baik”
من حقّ الولد على الوالد أن يحسن ادبه و يحسن اسمه
“Diantara yang menjadi hak seorang anak atas orang tuanya adalah memperbagus adabnya dan menamakannya dengan nama yang baik”
ما نحل والد ولدا افضل من ادب حسن
“Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali adab yang baik”
الغلام يعـقّ عنه يوم السـابع, و يسمّى و يـماط عنه الأذى فاذا بلـغ ستّ سنـين أدّب, و اذا بلغ تسع سنـين عـزل عن فـراشه , فاذا بلـغ عشرة سنة ضرب على الصلاة و الصوم, فاذا بلغ ستّ عشرة سنة زوّجه ابوه, ثمّ أخذ بيده و قال قد أدّبتك و علّمتك و أنكحتك, اعوذ بالله من فـتـنـتك فى الـدنيـا و عذابـها فـى الاخرة
“Seorang anak diselamati pada hari ketujuh dari kelahirannya, diberi nama dan dihilangkan penyakitnya (dicukur rambutnya). Jika sudah menginjak usia enam tahun, maka ia diberi pendidikan. Jika sudah menginjak usia sembilan tahun, maka ia dipisahkan tempat tidurnya. Jika sudah menginjak usia tigabelas tahun maka ia harus dipukul bila tidak mau mengerjakan sholat dan puasa. Dan jika telah menginjak enambelas tahun, maka ayahnya boleh mengawinkan, lalu memegang anaknya itu dengan tangannya dan berkata padanya:’Aku telah mendidikmu, mengajarmu dan mengawinkanmu’. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah (yang disebabkan ulah)mu di dunia dan dari adzab yang (disebabkan) fitnah itu di akhirat”
.
Dalam persidangan kedua tentang pendidikan Islam di Islamabad, Al Attas menegaskan konsep ta’dib dalam pendidikan dengan mengemukakan gagasan, yaitu:
“Ta’dib already includes within its conceptual structure the element of knowledge, instruction (ta’lim), and good breeding (tarbiyyah) so that there is no need to refer to the concept of education in the Islam as tarbiyyah-ta’lim-ta’dib all together. Ta’dib is then the precise and correct term to denote education in the Islamic sense
Hal tersebut untuk memberikan penekanan terhadap konsep yang telah ditetapkan pada sidang sebelumnya yang menyatakan bahwa adanya kesatuan antara ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Padahal menurut pendapat beliau bahwa ta’dib sudah meliputi tarbiyyah dan ta’lim. Sehingga tidak dibutuhkan penyatuan atau penggunaan konsep ketiganya secara bersamaan.
Konsep ta’dib dalam pendidikan menjadi sangat penting diketengahkan, mengingat semakin terlihatnya gejala keruntuhan akhlak di kalangan umat Islam bukan dikarenakan mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan , tetapi karena mereka telah kehilangan adab. Tindak kejahatan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan dan hal lain justru banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang mengenyam proses pendidikan. Proses bertambahnya ilmu pengetahuan seakan-akan tidak berbanding lurus bahkan tidak berhubungan dengan peningkatan akhlak yang mulia atau keimanan para mudarist.
Dari hadist tersebut juga ditekankan akan kewajiban dan hal yang utama bagi orangtua untuk memberikan pendidikan yang baik dan menjadi hak setiap anak untuk mendapatkannya. Disebutkan pula bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan diperoleh sejak usia dini sampai menikahkannya.
Dr. Abdullah Nashih Ulwan memberikan penjelasan terhadap hadits-hadits tersebut bahwa:
“para pendidik terutama ayah dan ibu, mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik anak dengan kebaikan dan dasar-dasar moral. Mereka bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak sejak kecil untuk berlaku benar, dapat dipercaya, istiqomah, …”
Selanjutnya dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan tentang perilaku-perilaku dan penyimpangan tercela yang harus dihindarkan oleh anak sebagai subjek didik.
III. Penutup
Penggunaan istilah dalam pendidikan berdasar pada Al Qur’an dan As Sunnah yang tepat akan menjadi sangat penting, karena akan mempengaruhi konsep pendidikan khususnya pendidikan dalam pengertian Islam. Pengertian pendidikan akan mendasari tujuan, metode sampai pada kurikulum pendidikan itu sendiri.
Mengadopsi seluruh istilah atau menggabungkannya sebagai upaya untuk mengakomodasi saja tidaklah cukup, mengingat strukturnya dan penekanannya akan berbeda. Apabila ta’dib adalah istilah yang paling mewakili pendidikan dalam islam, maka adab akan menjadistressing dalam pendidikan secara keseluruhan, tidak hanya pada pendidikan agama saja.
Walaupun demikian tarbiyyah dan ta’lim merupakan istilah yang memilki kaitan erat langsung dengan pendidikan itu sendiri. Proses pengembangan diri dan pengajaran adalah bagian penting dalam pendidikan untuk mencapai tujuan manusia sebagai hamba Allah.