Marilah kita bertakwa kepada Allah. Kita laksanakan kewajiban yang telah
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu berupa hak-hak-Nya dan hak para
hamba-Nya. Dan ketahuilah, hak manusia yang paling besar atas diri kalian ialah
hak kedua orang tua dan karib kerabat. Allah menyebutkan hak tersebut berada
pada tingkatan setelah hak-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ
وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa … ” [an-Nisâ`/4:36].
Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat Luqmân/31
ayat 14:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
“(Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapanya, …)”
Selanjutnya Allah menyebutkan alasan perintah ini, yaitu:
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ
وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ
“(ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah)”.
Yakni keadaan lemah dan berat ketika mengandung, melahirkan, mengasuh dan
menyusuinya sebelum kemudian menyapihnya.
Kemudian Allah berfirman:
وَفِصَالُهُ فِي
عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“(dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang
ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu)”.
Nabi telah menjadikan bakti kepada orang tua lebih diutamakan daripada
berjihad di jalan Allah. Disebutkan dalam shahîhaian dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd,
ia berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku bertanya kepada Nabi; “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,”Shalat
pada waktunya.” Aku bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau
menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi: ”Kemudian apa
lagi?” Beliau menjawab,”Berjihad di jalan Allah.”
Dikisahkan dalam kitab Shahîh Muslim, bahwa ada seseorang datang kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Aku berbaiat kepadamu untuk
berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Aku mengharap pahala dari Allah.” Beliau
bertanya,”Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab,”Ya,
bahkan keduanya masih hidup,” beliau bersabda,”Engkau mencari pahala dari
Allah?” Ia menjawab,”Ya.” beliau bersabda,”Pulanglah kepada kedua orang tuamu,
kemudian perbaikilah pergaulanmu dengan mereka.”
Disebutkan dalam sebuah hadits dengan sanad jayyid (bagus), ada seseorang
berkata kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin berjihad namun
aku tidak mampu melakukannya”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
“Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih ada?” Ia menjawab,”Ya, ibuku,”
beliau bersabda: “Temuilah Allah dalam keadaan berbakti kepada kedua orang
tuamu. Apabila engkau melakukannya, maka berarti engkau telah berhaji, berumrah
dan berjihad”.
Allah Subhanhu wa Ta’ala juga telah berwasiat supaya berbuat baik kepada
kedua orang tua di dunia walaupun keduanya kafir. Akan tetapi, apabila keduanya
menyuruh untuk berbuat kufur maka sang anak tidak boleh menaati perintah kufur
ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ
أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.[Luqmân/31:15].
Disebutkan dalam kitab shahîhain, dari Asmâ’ binti Abu Bakar Radhiyallahu
‘anha, ia menceritakan ketika ibunya datang menyambung silaturrahmi dengannya
padahal si ibu masih dalam keadaan musyrik.
Asmâ’ Radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي
أُمَّكِ
“Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku ingin (menyambung hubungan dengan
putrinya, Asmâ’), apakah aku boleh menyambung hubungan kembali dengan ibuku”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, sambunglah.”
Cara berbakti kepada kedua orang tua, ialah dengan mencurahkan kebaikan,
baik dengan perkataan, perbuatan, ataupun harta.
Berbuat baik dengan perkataan, yaitu kita bertutur kata kepada keduanya
dengan lemah lembut, menggunakan kata-kata yang baik dan menunjukan kelembutan
serta penghormatan.
Berbuat baik dengan perbuatan, yaitu melayani keduanya dengan tenaga yang
mampu kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, membantu dan
mempermudah urusan-urusan keduanya. Tentu, tanpa membahayakan agama ataupun
dunia kita. Allah Mahamengetahui segala hal yang sekiranya membahayakan.
Sehingga kita jangan berpura-pura mengatakan sesuatu itu berbahaya bagi diri
kita padahal tidak, sehingga kitapun berbuat durhaka kepada keduanya dalam hal
itu.
Berbuat baik dengan harta, yaitu dengan memberikan setiap yang kita miliki
untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh keduanya, berbuat baik, berlapang
dada dan tidak mengungkit-ungkit pemberian sehingga menyakiti perasaan ibu
bapak.
Berbakti kepada kedua orang tua tidak hanya dilakukan tatkala keduanya masih
hidup. Namun tetap dilakukan manakala keduanya telah meninggal dunia. Ada
sebuah kisah, yaitu seseorang dari Bani Salamah mendatangi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ia bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ
بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ
نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا
مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا
وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا
“Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang tuaku
setelah keduanya meninggal?” Beliau menjawab,”Ya, dengan mendoakannya,
memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya (wasiat), menyambung
silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui jalan mereka berdua, dan
memuliakan teman-temannya”. [HR Abu Dawud].
Allâhu Akbar! betapa luas cakupan berbakti kepada kedua orang tua, bahkan
termasuk di dalamnya keharusan memuliakan dan menyambung silaturahmi kepada
teman kerabat.
Disebutkan dalam kitab Shahîh Muslim, dari ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khatthâb
Radhiyallahu ‘anhu : “Suatu hari beliau Radhiyallahu ‘anhu berjalan di kota
Makkah dengan mengendarai keledai yang biasa beliau Radhiyallahu ‘anhu gunakan
bersantai jika bosan mengendarai unta. Lalu di dekat beliau lewatlah seorang Arab
Badui. Lantas ‘Abdullah bin ‘Umar pun bertanya kepadanya:”Benarkah engkau Fulan
bin Fulan?” Ia menjawab,”Ya,” kemudian ‘Abdullah bin ‘Umar memberikan
keledainya kepada orang itu sambil berkata,”Naikilah keledai ini.” Beliau juga
memberikan sorban yang mengikat di kepalanya seraya berkata,”Ikatlah kepalamu
dengan sorban ini,” maka sebagian sahabatnya berkata,”Semoga Allah
mengampunimu. Mengapa engkau memberikan keledai kendaraan santaimu dan sorban
ikat kepalamu kepada orang itu?” Maka ‘Ibnu ‘Umar menjawab: ”Orang ini, dahulu
adalah teman ‘Umar (bapakku), dan aku pernah mendengar Rasulullah
berkata,’Sesungguhnya bakti yang terbaik, ialah tetap menyambung hubungan
keluarga ayahnya”.
Adapun balasan berbakti ini ialah pahala yang besar saat di dunia maupun
akhirat. Barang siapa yang berbakti kepada orangtuanya, maka kelak anak-anaknya
juga akan berbakti kepadanya, serta memberikan jalan keluar dari kesusahannya.
Dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari hadits Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu disebutkan tentang kisah tiga orang yang ingin bermalam di
gua, lalu merekapun masuk ke dalamnya. Begitu sampai di dalam gua, tiba-tiba
sebongkah batu besar jatuh dan menutup mulut gua tersebut.
Merekapun kemudian bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang
pernah dikerjakan supaya mereka bisa keluar. Salah seorang dari mereka berkata:
Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai bapak dan ibu yang sudah sangat tua.
Aku tidak pernah memberikan susu kepada keluarga maupun budakku sebelum mereka
berdua.
Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari pohon dan belum kembali kepada
mereka hingga mereka pun tertidur. Akupun memerah susu untuk mereka. Setelah
selesai, ternyata aku mendapatkan mereka berdua telah tertidur. Aku tidak ingin
membangunkannya dan tidak memberikan susu kepada keluarga maupun untukku
sendiri. Aku terus menunggu mereka sambil membawa mangkuk susu di tanganku
hingga terbit fajar. Mereka pun bangun dan meminum susu perahanku.
Ya Allah, sekiranya aku melakukan itu semua karena-Mu, maka bukakanlah batu
yang telah menutupi kami ini.
Maka batu itupun bergeser sedikit. Kemudian demikian pula yang lainnya
berdoa, bertawasul dengan amalan shalih yang pernah mereka kerjakan. Akhirnya,
batu itupun bergeser sehingga gua terbuka dan mereka dapat keluar, kemudian
kembali melanjutkan perjalanan.
Ketahuilah, berbakti kepada orang tua juga akan mendatangkan keluasan
rizki, panjang umur dan khusnul khatimah.
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang senang apabila
dipanjangkan umurnya, diluaskan rizkinya dan dihindarkan dari sû`ul khatimah,
maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahmi.” Dan
sesungguhnya, berbakti kepada orang tua merupakan wujud silaturahmi yang paling
mulia, karena orang tua memiliki hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan
kita.
Seorang mukmin yang berakal, sungguh sangat tidak pantas berbuat durhaka
dan memutuskan hubungan dengan kedua orang tua, padahal ia mengetahui keutamaan
berbakti kepadanya, dan balasannya yang mulia di dunia maupun di akhirat.
Larangan ini sangat besar.
Apabila telah mencapai usia lanjut, kedua orang tua akan mengalami
kelemahan badan maupun pikiran. Bahkan keduanya bisa mengalami kondisi yang
serba menyusahkan, sehingga menyebabkan seseorang mudah menggertak atau
bersikap malas untuk melayaninya. Dalam keadaan demikian, Allah melarang setiap
anak membentak, meskipun dengan ungkapan yang paling ringan. Tetapi Allah
memerintahkan si anak supaya bertutur kata yang baik, merendahkan diri dalam
perkataan maupun perbuatan di hadapan keduanya. Sebagaimana sikap seorang
pembantu di hadapan majikannya. Demikian pula, Allah memerintahkan si anak
supaya mendoakan keduanya, semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana keduanya
telah mengasihi dan merawat si anak tatkala masih kecil.
Sang ibu rela berjaga saat malam hari demi menidurkan anaknya. Iapun rela
menahan rasa letih supaya si anak bisa beristirahat dengan cukup. Adapun
bapaknya, ia berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Letih pikirannya, letih
pula badannya. Semua itu, tidak lain ialah untuk memberi makan dan mencukupi
kebutuhan si anak. Sehingga sepantasnya bagi si anak untuk berbakti kepada
keduanya sebagai balasan atas kebaikannya.
Dalam kitab shahîhain disebutkan dari Abu Hurairah, bahwasanya ada seorang
laki-laki bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia
yang paling berhak aku pergauli dengan baik?” Rasulullah menjawab,”Ibumu.”
Orang itu bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Ibumu.” Orang itu mengulangi pertanyaannya: “Kemudian siapa lagi?”
Nabi pun kembali mengulangi jawabanya: “Ibumu.” Iapun kemudian mengulangi
pertanyaanya untuk yang ke empat kalinya: “Kemudian siapa?” Rasulullah
menjawab: “Bapakmu.”
Semoga Allah memberikan taufik-Nya, sehingga memudahkan kita untuk
berbakti kepada ibu bapak. Dan semoga Allah memberi karunia kepada kita
keikhlasan dalam melaksanakannya. Sesunggunya Dia-lah Dzat yang