BAB VI
ETIKA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
عَنْ أَنَسٍ
اِبْنِ مَالِكٍ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تَنَفَّرُوْا وَكَانَ يُحِبُّ
الْتَخْفِيْفِ وَالتَّيْسِرِ عَلَى النَّاسِ (رواه البخارى)
Dari Anas
bin Malik R.A. dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda : Permudahkanlah dan
jangan kamu persulit, dan bergembiralah dan jangan bercerai berai, dan beliau
suka pada yang ringan dan memudahkan manusia (H.R Bukhori)
عَنْ اَبِىْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا اَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِهِ (رَوَاهُ اَبُوْ
دَاوُدْ و النَّسَاءِ وَابْنُ حِبَّانِ )
Dari Abu
Hurairah R.A, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda : Sesungghnya aku bagimu
adalah seperti orang tua kepada anaknya. (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu
Hibban)
عَنْ عَلِيٍّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ يُعْطِيْ كُلَّ جُلُسَائِلِهِ بِنَصِبِهِ لَا
يَحْسَبُ جَلِيْسُهُ أَنَّ اَحَدًا أَكْرَمُ عَلَيْهِ مِنْهُ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيْ)
Dari Ali R.A
ia berkata : “Rasulullah SAW selalu memberikan kepada setiap orang yang hadir
dihadapan beliau, hak-hak mereka (secara adil), sehingga diantara mereka tidak
ada yang merasa paling diistimewakan.” (H.R Tirmidzi)
إِنَّ اللهَ
يُحِبُّ الرِّفْقَ فِيْ الْأَمْرِ كُلِّهِ
Sesungguhnya
Allah mencintai berlaku lemah lembut dalam segala sesuatu.
مَنْ سُئِلَ
عَنْ عِلْمٍ عَلِمَهُ ثُمَّ كَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِياَمَةِ بِلِجَامٍ مِنَ
النَّارِ (رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ وَ التِّرْمِذِيْ)
“Barang siapa
ditanya tentang suatu ilmu yang ia ketahui kemudian ia menyembunyikannya (tanpa
menjawabnya), maka kelak ia dikendalikan di hari kiamat dengan kendali yang
terbuat dari api neraka.” (H.R Abu Daud dan Tirmidzi)
عَنْ عُمَرُ
ابْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَعَلَّمُ الْعِلْمَ وَتَعَلَّمُوْا لِلْعِلْمِ
السَّكِيْنَةِ وَالْوَقَارِ وَتَوَضَّئُوْا لِمَنْ تَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ
(رَوَاهُ اَبُوْ نُعَيْمِ )
Dari Umar
Ibnul Khattab R.A beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Pelajarilah
olehmu ilmu pengetahuan dan pelajarilah pengetahuan itu dengan tenang dan
sopan, rendah hatilah kami kepada orang yang belajar kepadanya” (H.R Abu
Nu’aim)
ADAB DAN ETIKA SISWA
TERHADAP GURU
1. Pengertian Etika
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang
berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya
berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin,
yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan
atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan),
dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang
sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu
moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika
adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
2. Pengertian Guru dan Siswa
a. Pengertian Guru
Dalam literatur
kependidikan Islam, kata guru sering juga dikatakan dengan ustadz, mu’allim,
murabbiy, mudarris dan muaddib. Sedangkan menurut Muhammad
Ali al-Khuli dalam kamusnya “Dictionary of Education; English-Erobic”,
kata “guru” disebut juga dengan mu’allim dan mudarris.
Kata “uztadz” biasa
digunakan untuk memanggil seorang profesor. Ini mengandung makna bahwa seorang
guru dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya.
Seorang dikatakan profesional, bilamana pada dirinya melihat sikap dedikatif
yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil
kerja, serta sikap continous improvemen, yaitu selalu berusaha
memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan
tuntutan zamannya. Yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas
mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zamannya
di masa depan.
b. Pengertian siswa
Kata “murid” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian orang yang sedang berguru.16
Menurut Ahmad Warson Al- Munawwir dalam kamusnya “Al-Munawwir” bahwa
“murid” adalah orang yang masa-masa belajar.17 Sedangkan kata “murid” menurut
John M. Echold dan Hassan Shadily adalah orang yang belajar (pelajar). Istilah
lain yang berkenaan dengan murid (pelajar) adalah al-thalib.
Kata ini berasal dari
bahasa Arab, thalaba, yathlubu, thalaban, talibun yang berarti “orang
yang mencari sesuatu”.19 Pengertian ini dapat dipahami karena seorang pelajar
adalah orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar
berbahagia dunia dan akhirat.
2. Etika siswa terhadap guru
1.
Hendaklah murid menghormati guru, memuliakan serta mengagungkannya karena
Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik.
2.
Bersikap sopan di hadapan guru, serta mencintai guru karena allah.
3.
Selektif dalam bertanya dan tidak berbicara kecuali mendapat izin dari
guru.
4.
Mengikuti anjuran dan nasehat guru.
5.
Bila berbeda pendapat dengan guru, berdiskusi atau berdebat
lakukanlah dengan cara yang baik,
6.
jika melakukan kesalahan segera mengakuinya dan meminta maaf kepada
guru.
Artinya:
”Tidak boleh menuntut ilmu kecuali dari guru yang amin dan tsiqah
(mempunyai kecerdasan kalbu dan akal) karena kuatnya agam adalah dengan ilmu”.
3. Adab seorang murid terhadap
gurunya
1. Berpakaian rapi dan sopan lagi bersih.
2. Bersikap sopan santun dihadapan guru.
3. Murid menanyakan beberapa masalah penting bagi
manusia seperti tentang aqidah, ibadah dan akhlak yang harus dilakukan selama
hidup didunia ini.
4. Hendaknya seorang murid menjaga diri dari mendengarkan
perselisihan diantara mereka, baik yang ditekuni itu termasuk ilmu dunia
ataupun akhirat.Karena itu akan membingungkan akal dan pikirannya, dan
membuatnya putus asa dari melakukan pengkajian dan telaah mendalam.
5. Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu
cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus
mempertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan dan maksudnya.
6. Hendaknya seorang tidak menekuni semua bidang ilmu
secara sekaligus melainkan memulai dengan yang lebih mudah.
7. Hendaklah seorang murid tidak memasuki suatu
cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang sebelumnya.
8. Hendaklah mengetahui faktor penyebab adanya ilmu yang
mulia. Yang dimaksud adalah kemulian hasil, kekokohan dan kekuatan dalil.
9. Hendaklah tujuan murid di dunia adalah semata-mata
untuk menghias dan mempercantik hatinya dengan keutamaan, dan akhirat adalah
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan
dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orangorang yang didekatkan
(muqorrobin).
10. Hendaklah mengetahui kaitan dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang
tinggi.
Dan juga perlu
disadari, bahwa hormat dan patuh kepada gurunya bukanlah manifestasi penyerahan
total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan
murid bahwa guru adalah penyalur kemurahan Tuhan kepada para murid di dunia
maupun di akhirat. Selain itu juga didasarkan atas kepercayaan bahwa guru
tersebut memiliki kesucian karena memegang kunci penyalur ilmu pengetahuan dari
Allah. Dengan demikian, dalam kontek kepatuhan santri pada guru hanyalah karena
hubungannya dengan kesalehan guru kepada Allah, ketulusannya, dan kecintaanya
mengajar murid-murid.
4. Hakikat Peserta Didik dalam
Pendidikan Islam
Menurut Langeveld, anak
manusia itu memerlukan pendidikan karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya.
Dalam dunia tasawuf, peserta didik atau murid adalah orang yang menerima
pengetahuan dan bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan
segala perhatian dan usahanya ke arah itu. Peserta didik atau murid di sini ada
tiga tingkat, yaitu:
a) Mubtadi’ atau pemula, yaitu mereka yang
baru mempelajari syari’at. Jiwanya masih terikat pada kehidupan duniawi.
b) Mutawasit atau tingkatan menengah, yaitu
orang yang sudah dapat melewati kelas persiapan, telah mempunyai pengetahuan
yang dalam tentang syari’at. Kelas ini sudah mulai memasuki pengetahuan dan
alam batiniyah. Tahap ini adalah tahap belajar dan berlatih mensucikan batin
agar tercapai akhlak yang baik.
c) Muntahid atau tingkatan atas, yaitu yang telah matang
ilmu syari’atnya, sudah mendalami ilmu batiniyah. Orang yang sudah mencapai
tingkat ini disebut orang arif, yaitu orang yang sudah boleh mendalami ilmu
hakikat.
Perlu diperjelas beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik dan
implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu:
a) Peserta didik bukan merupakan miniatur
orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting
untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak
disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode mengajar ,
materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan, dan lain sebagainya.
b) Peserta didik adalah manusia yang memiliki
diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup
perlu untuk diketahui agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap
peserta didik.
c) Peserta didik adalah manusia yang memiliki
kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus
dipenuhi. Di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang,
rasa aman, harga diri, realisasi diri, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu
penting dipahami oleh pendidik agar tugas-tugas kependidikannya dapat berjalan
secara baik dan lancar.
d) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki
perbedaan individual, baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun
lingkungan di mana ia berada. Pemahaman tentang differensiasi individual
peserta didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik.
e) Peserta didik merupakan resultan dari dua
unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang
menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan.
Sementara unsur rohaniyyah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa.
Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk
mengasah daya intelektualitasnya melalui ilmu-ilmu rasional
f) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi
(fithrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas
pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut
sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas
kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun horizontal.
Seluruh pendekatan peserta didik di atas perlu dipahami secara mendalam
oleh setiap pendidik atau komponen yang terlibat dalam proses kependidikan
Islam. Wacana ini dimaksudkan untuk memformat tugas-tugas kependidikan yang
dinamis bagi tercapainya tujuan yang diinginkan.
5. Hadist Tentang Etika Peserta Didik dan Relasi
Peserta Didik Dengan Guru Dalam Pendidikan Islam
Islam mengajarkan untuk
menuntut ilmu sepanjang hayat dikandung badan. Sebagaimana tercantum dalam
hadits nabi :
Artinya
“Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat”(HR. Muslim)
Konsep pendidikan Islam, tugas mengajar,
mendidik, dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih surga.
Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan diri ke
dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi
bersabda :
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya
dha’if)
Menurut Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan, karena ia berada
dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid). Dalam Al-Quran dijelakan:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)
Manusia memepunyai
banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak potensi yang dibawanya. Dalam
garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi
orang yang baik dan kecenderungan menjadi orang yang jahat. Kecenderungan
beragama termasuk ke dalam kecenderungan menjadi baik.
Firman Allah dalam
Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)
Peserta didik di dalam
mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik,
karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan
suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai
hidup atas pendidikan agama peserta didik.
Hal ini
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
Artinya: “Tidaklah
anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah (kecenderungan untuk
percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut
beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (HR. Muslim).
a. Menjadikan diri guru sebagai suri tauladan
yang baik kepada murid
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti
paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan
etos sosial anak. Anak memandang pendidik sebagai figure terbaik, yang
tindak-tanduk dan sopan-santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru. Bahkan
perkataan, perbuatan dan tindak-tanduk guru akan senantiasa tertanam dalam
kepribadian anak.
Allah SWT telah
mengajarkan — dan Dia adalah peletak metode samawi yang tiada taranya — bahwa
Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada umat manusia, adalah
seorang pendidik yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun
intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya, menggunakan metodenya dalam hal
kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang terpuji. Allah mengutus Nabi Saw sebagai
teladan yang baik bagi kaum muslimin sepanjang sejarah, dan bagi umat manusia
di setiap saat dan tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang
memberi petunjuk. Allah berfirman dalam surat al-Ahzab/33 ayat 21:
لقد كان لكم
في رسول الله اسوة حسنة
Artinya:
Sesumngguhnya telah ada pada( diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.
Dalam al-Ahzab/33 ayat 45-46
disebutkan sebagai berikut:
يا ايها
النبي انا ارسلناك شاهدا ومبشرا ونذيرا وداعيا الى الله باذنه وسراجا منيرا
Artinya:
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar
gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepad agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerang.
Allah meletakkan pada
diri Nabi yang mulia suatu bentuk yang sempurna bagi metode pendidikan yang
islami, agar menjadi gambaran yang hidup dan abadi bagi generasi-generasi umat
selanjutnya dalam kesempurnaan akhlak dan universalitas keagungan kepribadian.
Aisyah pernah ditanya tentang
akhlak Rasulullah, beliau berkata:
حدثنا عبد
الله حدثني ابي ثنا عبد الرزاق عن معمر عن قتا دة عن زرارة عن سعد بن هشام قال
سالت عاءشة فقالت اخبرني عن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: كان
خلقه القران
Artinya:
…Akhlaknya adalah al-Qur`an.
Ungkapan Aisyah tersebut tentu
tidak mengherankan karena karena Allah Yang Maha Sucilah yang telah mendidiknya
secara langsung dalam suasana pendidikan yang mulia.
b. Berbicara kepada murid dengan lembut dan
wajah senyum
Nabi Saw mengajarkan supaya memilih kata-kata yang santun ketika berbicara
kepada siapa pun, apalagi kepada murid-murid yang mendengarkan penyampaian ilmu
dari seorang guru. Tindakan yang demikian akan berakibat dilecehkannya seorang
guru oleh murid. Kata-kata yang indah dan menyentuh kalbu justru akan membekas
lama dalam hati murid, dan akan membimbingnya dengan efektif. Rasulullah Saw
bersabda:
حدثنا هناد
حدثنا عبدة عن محمد بن عمر وحدثني ابي عن جدي قال: سمعت بلال بن الحرث المزني صاحب
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول: ان احدكم ليتكلم بالكلمت من رضوان الله ما يظن ان تبلغ ما بلغت فيكتب
الله له بها رضوانه الى يوم يلقاه وان احدكم ليتكلم بالكلمت من سخط الله ما
يظن ان تبلغ ما بلغت فيكتب الله عليه بها سخطه الى يوم يلقاه
Artinya:
Sesungguhnya di antara kalian ada yang mengucapkan kata-kata (baik) yang
diridhai Allah, dan tidak tahu kadar derajat kemuliaan kata-kata itu. Maka dengan kata-kata tersebut, Allah
melimpahkan ridha-Nya kepada orang itu hingga hari perjumpaan nanti (Hari
Kiamat). Dan sesungguhnya di antara kalian ada yang mengucapkan kata-kata
(buruk) yang dimurkai Allah, dan dia tidak tahu kadar derajat kehinaan
kata-kata itu. Maka dengan kata-kata tersebut Allah menetapkan murka-Nya kepada
orang tersebut hingga hari perjumpaan nanti (Hari Kiamat).
Seorang guru ketika menyampaikan ilmu dan melakukan interaksi edukatif
kepada murid-muridnya hendaklah dengan raut wajah yang tulus dan senyum.
Rasulullah Saw menjadi contoh sempurna tentang hal ini. Perihal senyum
Rasulullah, Abu Darda` berkata:
حدثنا عبد
الله حدثني ابي ثنا زكريا بن عدي انا بقية عن حبيب بن عمر الانصاري عن شيخ يكني
ابا عبد الصمد قال سمعت ام الدرداء نقول: كان ابو الدرداء اذا حدث حديثا تبسم فقلت
لا يقول الناس انك اي امحق فقال: (ما رايت او ما سمعت رسول الله صلى الله عليه
وسلم يحدث حديثا الا تبسم)
Artinya:
Tidak pernah saya melihat atau mendengar Rasulullah Saw mengatakan suatu
perkataan kecuali sambil tersenyum.
Jabir r.a. juga mengatakan
sebagai berikut:
حدثنا احمد
بن منيع حدثنا معاوية بن عمر وحدثنا زاءدة عن اسماعيل بن ابي خالد عن قيس عن جرير
قال: (ما حجبني رسول الله صلى الله عليه و سلم منذ اسلمت ولا راني الا تبسم)
Artinya:
Rasulullah Saw tidak pernah terpisahkan dariku sejak aku masuk Islam, dan
beliau tidak pernah melihatku kecuali sambil tersenyum.
Perkataan lembut bahkan dapat
melembutkan hati yang keras. Sebagai contoh, Nabi Musa dituntun oleh Allah SWT
agar menyampaikan perkataan yang lembut untuk menyampaikan pesan kebenaran
kepada Fir’aun yang kejam. Allah berfirman dalam surat Taha/20 ayat 43-44:
هذهبا الى
فرعون انه طغى (فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى)
Artinya:
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui
batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.
Di samping itu, seorang guru juga tidak boleh tergesa-gesa dalam
menyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada para siswa. Karena hal ini akan
membuat mereka sukar memahami dan mencerna perkataan guru. Hal ini sebagaimana
hadis yang berasal dari Aisyah sebagai berikut:
حدثنا سليمان
بن داود المهري أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب أ عروة بن الزبير
حدثه : أن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم قالت ألا يعجبك أبو هريرة ؟
جاء فجلس إلى جانب حجرتي يحدث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم يسمعني ذلك وكنت
أسبح ( أسبح أرادت أنها كانت تتنفل ) فقام قبل أن أقضي سبحتي ولو أدركته لرددت
عليه إن رسول الله صلى الله عليه و سلم لم يكن يسرد الحديث مثل سردكم .
قال الشيخ الألباني
: صحيح
Artinya:
…sesungguhnya Rasulullah Saw dalam berbicara tidak
tergesa-gesa (hingga susah dipahami) seperti pembicaraan kalian.
c. Menunjukkan sikap lemah lembut dan
kasih sayang kepada murid
Guru harus menunjukkan dirinya sebagai orang yang selalu memperhatikan dan
mengupayakan kebaikan untuk para murid tanpa pamrih. Tidak membeda-bedakan
mereka, meskipun latar belakang mereka sangat beragam. Kasih sayang guru tidak
saja kepada murid yang patuh dan hormat, tetapi juga kepada murid yang nakal.
Guru dalam konteks kasih sayang ini tidak akan pernah merasakan terhina dan
rendah diri dihadapan guru. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr/59 ayat 9:
ويؤثرون على
انفسهم ولو كان بهم خصاصة ومن يوق شح نفسه فاولئك هم المفلحون
Artinya:
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Nabis SAW juga mengingatkan agar pendidik menunjukkan sikap lemah lembut
kepada murid. Bukhari meriwayatkan:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها أَنَّ يَهُودَ
أَتَوُا النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ .
فَقَالَتْ عَائِشَةُ عَلَيْكُمْ ، وَلَعَنَكُمُ اللَّهُ ، وَغَضِبَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ . قَالَ « مَهْلاً يَا عَائِشَةُ ، عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ ،
وَإِيَّاكِ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ »
Artinya:
…hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras
serta keji.
Dalam hadis lain, al-Ajiri
meriwayatkan:
عرفوا ولا
تعنفوا
Artinya:
Bersikaplah ma’ruf (baik) dan jangan kalian bersikap keras.
Muslim meriwayatkan
dari Abu Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah mengutusnya bersama Mu’adz ke Yaman,
lalu beliau bersabda kepada mereka:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو سَمِعَهُ مِنْ سَعِيدِ
بْنِ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- بَعَثَهُ وَمُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ لَهُمَا « بَشِّرَا
وَيَسِّرَا وَعَلِّمَا وَلاَ تُنَفِّرَا ».
Artinya:
…Gembirakan dan permudahlah. Ajarkanlah ilmu dan
janganlah kalian berlaku tidak simpati.
d. Sikap memuliakan, menghormati dan tawadhu’ kepada guru
Sebagai murid, maka guru harus diperlakukan lebih dari orang pada umumnya.
Hal ini karena para guru sesungguhnya pewaris para Nabi. Para guru mewariskan
kepada para muridnya ilmu, yang membuat murid mencapai pribadi utama. Nabi SAW
mengatakan, dengan diwariskannya ilmu kepada murid, maka murid mendapat
keberuntungan yang sangat besar. Nabi Saw bersabda:
أخبرنا يعقوب
بن إبراهيم ثنا يزيد بن هارون ثنا الوليد بن جميل الكتاني ثنا مكحول قال قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم : فضل العالم على العابد كفضلي على أدناكم ثم تلا هذه
الآية { إنما يخشى الله من عباده العلماء } إن الله وملائكته وأهل سماواته
وأرضيه والنون في البحر يصلون على الذين يعلمون الناس الخير
…Sesungguhnya
Allah dan malaikat-Nya, para penghuni langit dan bumi, hingga semut yang ada di
dalam tanah (di tempat tinggalnya) dan
ikan hiu yang ada di dasar laut mendo’akan kepada orang yang mengajarkan
kebaikan kepada manusia.
Peran guru begitu besar untuk mengangkat murid dari kejahilan. Oleh karena
itu sangat pantas mereka mendapat penghormatan dari murid-muridnya. Guru
(bahasa Arab: mu’allim) bagaikan mengalirkan samudera ilmu di atas bumi
yang tandus, dan membuat bumi jadi subur, dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan
hijau, sehingga menghasilkan buah-buahan yang matang
Abuddin Nata dan Fauzan mengatakan bahwa murid hendaklah menghormati,
memuliakan dan mengagungkannya karena Allah, dan berupaya menyenangkan hati
guru dengan cara yang baik. Murid juga mesti bersikap sopan dan mencintai guru
karena Allah, selektif dalam bertanya dan tidak berbicara kecuali setelah
mendapat perkenan dari guru. Jika murid melakukan kesalahan kepada guru, maka
segera mengakuinya dan meminta maaf kepada guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar