Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan
berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang
shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab
menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para
gurunya?
Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih
Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka
sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya,
mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang
tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga
orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang telah meninggal dunia,
maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).
Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan terheran-heran,
mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya merasa amalan yang
dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu pun akhirnya
diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a
ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ
الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي
هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesunguhnya Allah ta’ala akan
mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surge. Kemudian dia akan
berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah
menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu
diampuni.” (HR. Ahmad: 10618. Hasan).
Oleh karenanya, saking urgennya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga
bisa menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung
membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman
dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦(
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).
Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,
تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية الله
وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية ردعتهم
عنها وزجرتهم عنها
“Yakni, hendaklah engkau memerintahkan
mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka
kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan
perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat
mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502).
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan
tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari
Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin
dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah
seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما
ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya
engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang
telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan
dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).
Tanggung Jawab Orang Tua
Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung oleh kedua
orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di sekolah–sekolah, hanyalah
partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak.
Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan
kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian
yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama
dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).
Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga
dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata,
“perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan
yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang
lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang
masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum
dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap
apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk
melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang
bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang
tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana
sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya,
jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak,
niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang
diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban
mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu
al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan
pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan
begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab
kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak
mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan
anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri
sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang
mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana
kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau
menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua
renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).
Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih!
“Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir
bin Ziyad mengenai firman Allah ta’ala, “
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ
لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (٧٤(
“Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al
Furqan: 74).
Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang
dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah
di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di
dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi
Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan
kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati
seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang
tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfah al
Maudud hal. 123).
Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi anak yang
shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita. Namun yang patut
kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran penting dalam
pembentukan keshalehan anak adalah keshalihan orang tua itu sendiri.
Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang
yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini,
كيف استقم الظل و عوده أعوج
“Bagaimana bisa bayangan itu lurus
sementara bendanya bengkok?”
Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah
bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan
sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak
akan lurus.
Allah ta’ala berfirman,
ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Keturunan itu sebagiannya merupakan
(turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34).
Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang
baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang baik pula.
Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat positif, karena Allah
akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 82,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ
يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا
صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا
رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ
تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢(
“Adapun dinding rumah itu adalah
kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi: 82).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah
menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh
karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan
manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada
cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullah bahwa
yang dimaksud ” وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا ” dalam ayat tersebut adalah
kakek ketujuh dari dua anak tadi.
Kelak di surga, Allah ta’ala pun akan mengumpulkan sang
anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak
dibanding amalan orang tua.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١(
“Dan orang-orang yang beriman, dan anak
cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu
mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal
mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath Thuur: 21).
Maka disini, Allah ta’ala memasukkan anak-anak orang
mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa
menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana
kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan
dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah
tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalehan
kedua orang tuanya.
Betapa pentingnya hal ini, yaitu menjadikan pribadi kita, yaitu orang tua,
menjadi pribadi yang shalih, sampai-sampai salah seorang yang shalih pernah
mengatakan,
يا بني إني لأستكثر من الصلاة لأجلك
“Wahai anakku, sesungguhnya aku
memperbanyak shalat karenamu (dengan harapan Allah akan menjagamu).”
Ada seorang tabi’in yang bernama Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah juga
pernah berkata,
إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي
“Ada kalanya ketika aku shalat, aku
teringat akan anakku, maka aku pun menambah shalatku (agar anak-anakku dijaga
oleh Allah ta’ala).”
Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada
Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya dengan harapan nantinya Allah ta’ala menjaga
dan memelihara anak-anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar