Manusia dalam persepektif Al-qur’an
Manusia telah berupaya memahami dirinya selama
beribu-ribu tahun, tetapi gambaran yang pasti dan meyakinkan tentang dirinya,
tak mampu memperolehnya dengan mengandalkan daya nalar semata. Oleh karna itu
mereka memelukan pengetahuan dari pihak lain yang dapat yang mengkaji
dirinya secara utuh, yaitu mengarah kepada kitab suci (Al-Qur’an). Banyak
sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi gambaran konkrit tentang manusia.
Al-Qur’an memberikan sebutan manusia dalam tiga
kata yaitu al-basyar, an-nas, dan al-insatau al-insan, ketiga
kata ini lazim diartikan sebagai manusia. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa
serta penjelasan Al- Qur’an itu sendiri, ketiga kata tersebut satu sama lain
berbeda maknanya.
1. Kata Al- Basyar
Penamaan manusia dengan kata Al-Basyar
dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 27 kali.[3] Kata basyar secara etimologis
berasal dari kata ( ba’, syin, dan ra’) yang
berarti sesuatu yang tampak baik dan indah, bergembira, menggembirakan,
memperhati-kan atau mengurus
suatu. Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang pada umumnya
berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari kata yang sama lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamakan basyarah karena kulitnya tampak jelas dan berbeda
dengan kulit binatang lainnya.[4]
Kata basyar dapat
juga diartikan sebagai makhluk biologis. Tegasnya memberi pengertian kepada
sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.[5] Sebagimana
dalam surat yusuf, ayat 31 yaitu:
فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ
لَهُنَّ مُتَّكَأً وَآتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَالَتِ
اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ ۖ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ
أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَٰذَا بَشَرًا إِنْ هَٰذَا إِلَّا
مَلَكٌ كَرِيمٌ
|
Artinya: Maka tatkala wanita itu
(Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan
disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing
mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian Dia berkata (kepada
Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala
wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan
mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini
bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah Malaikat yang
mulia."
Ayat ini
menceritakan wanita-wanita pembesar Mesir yang didukung Zulaikha dalam sutau
pertemuan yang takjub ketika melihat ketampanan Yusuf as. Konteks ayat ini tidak memandang yusuf as. Dari
segi moralitas atau intelektualitasnya, melainkan pada keperawakannya yang
tampan dan berpenampilan mempesona yang tidak lain adalah masalah biologis.
Pada ayat lain
disebutkan juga manusia dengan kata basyar dalam konteks sebagai makhluk
biologis yaitu pada ayat yang menceritakan jawaban Maryam (perawan) kepada
malaikat yang datang padanya membawa pesan Tuhan bahwa ia akan dikaruniai
seorang anak :
قَالَتْ رَبِّ
أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَر
“Maryam berkata: Tuhanku, bagaimana
mungkin aku mempunyai anak padahal aku tidak pernah disentuh manusia (basyar) ” (QS.Ali
Imran : 47)
Maryam berkata demikian sebab dia tahu bahwa
yang dapat menyentuh (hubungan seksual) itu hanya manusia dalam arti makhluk
biologis, dan anak adalah buah dari hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan . Nalar Maryam tidak menerima, bagaimana mungkin dia akan punya anak
padahal dia tidak pernah berhubungan dengan laki-laki.
Manusia dalam
pengertian basyar ini banyak juga
dijelaskan dalam Al-Qur’an, diantaranya dalam surah Ibrahim ayat 10, surah Hud ayat 26, surah al-Mu’minun ayat
24 dan 33, surah asy-syu’araayat 154, surah Yasin ayat 15, dan surah al-isra’ ayat 93.[6]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia
dengan menggunakan kata basyar, artinya
anak keturunan adam (bani adam) , mahkluk fisik
atau biologis yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang
menyebut pengertian basyar mencakup
anak keturunan adam secara keseluruhan. Al-Basyar mengandung
pengertian bahwa manusia mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa
berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan
waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir
Allah (hukum alam). Semuanya itu merupakan konsekuensi logis dari proses
pemenuhan kebutuhan tersebut. Untuk itu, Allah swt. memberikan kebebasan dan
kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang
dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu
tugas kekhalifahan-nya di muka bumi.
2. Kata An-Nas
Kata al-Nas dinyatakan
dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dalam 53 surat. Kata al-nasmenunjukkan pada eksistensi manusia sebagai
makhluk hidup dan makhluk sosial, secara keseluruhan, tanpa melihat status
keimanan atau kekafirannya, atau suatu keterangan yang jelas menunjuk kepada
jenis keturunan nabi Adam.[7]
Kata al-Nas dipakai
al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang
mempunyai berbagai kegiatan (aktivitas) untuk
mengembangkan kehidupannya. Penyebutan manusia dengan kata Al-Nas lebih
menonjolkan bahwa manusia merupakan
makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dan bersama-sama manusia
lainnya.[8]
Sebagimana dalam al-qur’an Allah berfirman, tepatnya pada surah Al-Hujrat,
ayat 13 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Jika kita
kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki
dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain
adanya pengakuan terhadap spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus
hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah
sebenarnya fungsi manusia dalam konsep al-nas.
Manusia dalam pengertian An-Nas ini banyak juga dijelaskan dalam
Al-Qur’an, diantaranya dalam surah al- Maidah, ayat 2. Ayat ini menjelaskan bahwa penciptaan
manusia menjadi berbagai suku dan bangsa bertujuan untuk bergaul dan
berhubungan antar sesamanya (ta’aruf ). Kemudian
surat al-hujurat: 13, al-Maidah
:3, al-Ashr: 3, al-imran: 112.[9]
3. Kata Al-Insan
Adapun penamaan manusia dengan kata al-insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan
tersebar dalam 43 surat.21 Secara etimologi, al-insan dapat
diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.[10]
Menurut Jalaludin Rahmat memberi penjabaran al-insan secara luas pada tiga kategori.
Pertama, al-insan dihubungkan dengan keistimewaan manusia
sebagai khalifah dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan
dengan predisposisi negatif yang inheren dan laten pada diri
manusia. Ketiga, al-insan disebut dalam
hubungannya dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga, semua
konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual. [11]
Kategori pertama dapat difahami melalui tiga penjelasan sebagai berikut :
1. Manusia
dipandang sebagai makhluk unggulan atau puncak penciptaan Tuhan. Keunggulannya
terletak pada wujud kejadiannya sebagai makhluk yang diciptakan dengan
sebaik-baik penciptaan. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang dipilih
Tuhan untuk mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi.
2. Manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dipercaya Tuhan untuk mengemban amanah, suatu beban
sekaligus tanggung jawabnya sebagai makhluk yang dipercaya untuk mengelola
bumi. Menurut Fazlurrahman, amanah yang
dimaksud terkait dengan fungsi kreatif manusia untuk menemukan hukum alam,
menguasainya dalam bahasa al-Quran (mengetahui nama-nama semua
benda), dan kemudian menggunakannya dengan insiatif moral untuk
menciptakan tatanan dunia yang lebih baik[12]. Sedangkan menurut Thabathaba’I, Amanah yang
dimakdus Sebagai predisposisi positif (isti’dad) untuk beriman dan mentaati Allah. Dengan kata
lain manusia didisposisikan sebagai pemikul al-wilayah al-Ilahiyah.
3. Merupakan
konsekuensi dari tugas berat sebagai khalifah dan pemikul amanah, manusia dibekali
dengan akal kreatif yang melahirkan nalar kreatif sehingga manusia memiliki
kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu berkali-kali kata
al-insan dihubungkan dengan perintah melakukan nadzar (pengamatan, perenungan,
pemikiran, analisa) dalam rangka menunjukkan kualitas pemikiran rasional
dan kesadaran khusus yang dimilikinya.
4. Dalam
mengabdi kepada Allah manusia (al-insan) sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan
kondisi psikologisnya. Jika ditimpa musibah ia selalu menyebut nama Allah.
Sebaliknya jika mendapat keberuntungan dan kesuksesan hidup cenderung sombong,
takabbur, dan musyrik.
Kata al-insan juga
digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan proses kejadian manusia sesudah dan
kejadiannya mengalami proses yang bertahap secara dinamis dan sempurna di dalam
di dalam rahim. Sebagaimana dalam al-qur’an dalam surah al-Nahl ayat 78, yaitu:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ
مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Penggunaan kata al-insan dalam
ayat ini mengandung dua makna[13],
yaitu: Pertama, makna proses biologis, yaitu berasal dari
saripati tanah melalui makanan yang dimakan manusia sampai pada proses
pembuahan. Kedua, makna proses
psikologis (pendekatan spiritual), yaitu proses ditiupkan ruh-Nya pada diri
manusia, berikut berbagai potensi yang dianugerahkan Allah kepada
manusia.
Makna pertama mengisyaratkan
bahwa manusia pada dasarnya merupakan dinamis yang berproses dan tidak lepas
dari pengaruh alam serta kebutuhan yang menyangkut dengannya. Keduanya saling mempengaruhi antara
satu dengan yang lain. Sedangkan makna kedua mengisyaratkan
bahwa, ketika manusia tidak bisa melepaskan diri dari kebutuhan materi
dan berupaya untuk memenuhinya, manusia juga dituntut untuk sadar dan tidak
melupakan tujuan akhirnya, yaitu kebutuhan immateri (spiritual). Untuk itu
manusia diperintahkan untuk senantiasa mengarahkan seluruh aspek amaliahnya
pada realitas ketundukan pada Allah, tanpa batas, tanpa cacat, dan tanpa akhir.
Sikap yang demikian akan mendorong dan menjadikannya untuk cenderung berbuat
kebaikan dan ketundukan pada ajaran Tuhannya.
E. Fungsi dan peran manusia di
permukaan bumi
Membincangkan masalah peran dan tanggungjawab
manusia, erat hubungannya dengan istilah khalifah seperti
disebutkan dibeberapa ayat al-Qur’an. Menurut Dawam Raharjo dalam bukunya
Ensiklopedi al-Qur’an, kata khalifah yang
cukup dikenal di Indonesia mengandung makna ganda. Di satu pihak, khalifah dimengerti sebagai Kepala Negara dalam
pemerintahan seperti Kerajaan Islam di masa lalu, dan di lain pihak pula
pengertian khalifah sebagai ‘wakil Tuhan”
di muka bumi.[14] yang
dimaksud dengan “wakil Tuhan” itu- masih menurut M. Dawam Raharjo- bisa
mempunyai dua pengertian; Pertama, yang diwujudkan dalam
jabatan pemerintahan seperti kepala negara, kedua,dalam pengertian
fungsi manusia itu sendiri di muka bumi.[15]
Adapun khalifah dalam tulisan ini lebih condong kepada
pengertian khalifah yang kedua yaitu
“wakil Tuhan” yang berhubungan dengan fungsi dan tanggungjawab manusia di muka
bumi yang mengemban amanat Tuhan. Pembatasan
ini dimaksudkan adalah untuk tidak membatasi fungsi manusia yang hanya tertumpu
kepada kepemimpinan yang formal atau kekuasaan. Sebab dalam mengemban amanat
tidak harus selalu dalam bentuk kekuasaan atau menjadi pemimpin. Pada dasarnya,
semua manusia mempunyai kewajiban untu menyampaikan kebenaran. Landasan kajian
ini adalah berdasar pada Firman Allah dalam surah al-baqarah ayat 30.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia
berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah. Ke-khalifahan merupakan
amanat atau tugas mengelola bumi secara bertanggungjawab, dan harus sesuai
dengan petunjuk dari yang memberikan tugas tersebut dengan mempergunakan akal
yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Menurut Hamka
dalam tafsirnya Al-Azhar –mengutip pendapat al-Qurtubi- amanat yang ditugaskan
Allah kepada manusia sungguh berat, hal ini terbukti pada penolakan langit dan
bumi serta gunung-gunung ketika ditawarkan untuk memikulnya dan mengemban
amanat tersebut.[16]
Ada dua bentuk peranan dan tanggung jawab
manusia di permukaan bumi yaitu:
1. Peran dan
Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba Allah dan Makhuk Sosial
Peran dan tanggungjawab manusia yang paling
utama adalah bagaimana manusia mampu memposisikan dirinya di hadapan Allah dan
kehidupan sosialnya. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dipaparkan terlebih
dahulu maksud dan tugas diciptakan manusia itu, seperti dijelaskan dalam ayat
al-Qur’an yang artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin and manusia kecuali
agar mereka mengabdi kepada-Ku
Dalam kehidupan masyarakat beragama pada
umumnya, ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan, seringkali diartikan ketaatan dan
kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama. Ajaran agama itu kemudian dimengerti
sangat formalistic, seperti yang tercermin dalam ketentuan-ketentuan
peribadatan.
Pemahaman yang teramat formalistic terhadap
agama, atau formalisme agama dalam kehidupan masyarakat melahirkan kepekaan
yang teramat kuat terhadap ketentuan-ketentuan formal keagamaan saja, tetapi
mengabaikan kepekaan sosial dan moral. Seakan-akan peribadatan kepada Tuhannya
hanya akan diterima jika seseorang memenuhi ketentuan formalnya, meskipun
realitas sosial dan kepekaan moralnya rendah. Akibatnya peribadatan terlepas
dari kaitan dengan realitas sosial dan moral.
Penjelasan di atas bukan ingin mengatakan bahwa
ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran agama dalam arti formalistic tidak akan
mempunyai dampak etis teologis yaitu pahala dan balasan dari Allah, tetapi
hendaknya selain mempunyai dampak etis dan teologis, ibadah-ibadah tersebut
harus mempunyai dampak sosial dan moral. Seorang yang ahli ibadah kemudian
hidup dengan serba kecukupan, tetapi tidak pernah peduli dengan masyarakat
lingkungannya yang hidup serba kekurangan, dapat saja memberikan peluang
kejahatan kepada orang lain dengan tindak pencurian, perampokan dan bentuk
kejahatan lainnya. Semestinya, perlu dipahami bahwa kepedulian sosial juga
merupakan lahan ibadah yang dapat dilakukan oleh siapapun.
2.Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah fil Ardl
Dalam sub
bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa antara peran dan tanggungjawab
manusia sebagai hamba Allah dan makhluk sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya
mempunyai hubungan fungsional dan korelatif. Manusia dalam perannya sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari perannya
sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah yang artinya:
“ ….Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurny
Khalifah fil ardl dapat diartikan pengemban amanat yang diberikan
Allah kepada manusia. Tugas manusia dalam rangka mengemban amanat “khalifah
fil ardl” yang terkandung dalam ayat di atas adalah mengelola dan
memakmurkan bumi dengan menggali sumber daya alam yang ia miliki untuk
kesejahteraan manusia. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kemampuan manusia
untuk mengambil manfaat dari kekayaan alam yang tersedia.
Peran dan
tanggungjawab manusia sebagai khalifah tidak
saja terbatas pada kemampuan mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi bagaimana
agar hasil dari eksplorasi tersebut dapat dijadikan bekal atau modal untuk
melakukan perubahan dan pengembangan masyarkat, khususnya masyarakat Islam.
Secara terminoligis menurut Amrullah Ahmad
pengembangan masyarakat Islam adalah suatu system tindakan nyata yang
menawarkan model pemecahan masalah umat dalam bidang sosial, ekonomi dan
lingkungan dalam perspektif Islam.[17] Dengan
demikian, pengembangan masyarakat Islam merupakan model empiris pengembangan
prilaku individual dan kolektif dalam dimensi amal saleh (karya terbaik),
dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Dari
situlah lahir beberapa perspektif dan alternative (problem solving).
Kesimpulan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling
unik dan paling sempurna di muka bumi ini, ini disebabkan manusia diberiakn
Allah SWT berupa akal yang dapat membedakannya dengan makhluk-makhluq tuhan
yang lainnya ,dengan akalnya manusia bisa membedakan antara yang hak dan yang bathil
, antara yang pantas dan tidak pantas di lakukan , bahkan seseorang yang tidak
mempunyai pengetahuan hukum agama pun dengan bekal akal dan hati nuraninya bisa
merasakan dan membedakan antara yang benar dan yang salah, karena tujuan
penciptaan manusia memang untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Dalam Al-Quran konsep manusia terdiri dari
beberap aspek yakni al-basyar, an-nas, dan al-insatau al-insan, ketiga
kata ini lazim diartikan sebagai manusia. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa
serta penjelasan Al- Qur’an itu sendiri, ketiga kata tersebut satu sama lain
berbeda maknanya. Kata al-basyar senantiasa senantiasa
mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama,
makan dan minum, bertambahnya
usia, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajal pun
menjemputnya. Kata al-Insan digunakan
untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga,
ada perbedaan antara seseorang dengan yang lain akibat perbedaan fisik, mental,
dan kecerdasan. Kata al-nas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk sosial.
[3] Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Kar³m,(Qahirah
: Dar al-Had³ts, 1988), hal 153-154
[5] Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi
Islami, Ed. Rendra (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000), hal. 5.
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Berbagai Persoalan
Umat (Bandung : Mizan, 1998) hal. 281
[8]Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang
Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an ( Yogyakarta
: LPPI, 1999) hal. 53
[14] M. Dawam
Raharjo, Ensiklopedi Islam, TafsirSosial berdasarkan
Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. II, h. 346
[17] Amrullah
Ahmad dalam Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan
Masyarakat Islam,dari Ideologi , Strategi sampai Tradisi,(Bandung:
Rosda Karya, 2001), h. 29.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Nuh, Kamus Indonesia Arab, Jakarta: Mutiara, 2008.
Dawam
Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan
Perspektif al-Qur’an Yogyakarta : LPPI, 1999.
Muhammad
Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh
al-Qur’an al-Kar³m,Qahirah : Dar al-Had³ts, 1988.
M.Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an,
Bandung : Penerbit Mizan, Cetakan VII, April 1998.
Rif’at
Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam
Metodologi Psikologi Islami, Ed. Rendra Yogyakarta Pustaka
Pelajar, 2000.
Usman A. Hakim, Bamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai pustaka, 2001
M. Dawam
Raharjo, Ensiklopedi Islam, TafsirSosial berdasarkan
Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002)
Amrullah
Ahmad dalam Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan
Masyarakat Islam,dari Ideologi , Strategi sampai Tradisi,(Bandung:
Rosda Karya, 2001
Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), cet. I, juz XXII, h. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar