I. Pendahuluan
Pendidikan
merupakan hal yang sangat strategis dalam membangun sebuah peradaban, khususnya
peradaban yang Islami. Bahkan, ayat pertama diturunkan oleh Allah sangat
berhubungan dengan pendidikan. Proses dakwah Rasulullahpun dalam menyebarkan
Islam dan membangun peradaban tidak lepas dari pendidikan Rasul terhadap para
sahabat. Dimulai dari sebuah rumah kecil “Darul Arqom” sampai membentang
ke seberang benua. Diawali beberapa sahabat sampai tersebar ke jutaan umat
manusia di penjuru dunia. Sebuah proses yang pernah menorehkan sejarah
peradaban yang membanggakan bagi umat Islam, Madinah Al Munawarah. Sejarahpun
mencatat banyak Negara yang memperkokoh bangsanya ataupun bisa segera bangkit
dari keterpurukan dengan upaya membangun pendidikan. Wajar, karena dari
pendidikanlah lahir sebuah generasi yang diharapkan mampu membangun peradaban
tersebut. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kemajuan pendidikan akan menjadi
salah satu pengaruh kuat terhadap kemajuan atau kegemilangan sebuah peradaban.
Namun,
konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar
atau ilmuwan. Peran pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam
melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang
benar. Apabila kita menerima teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma
dalam teori pendidikan, maka disadari atau tidak berarti kita telah
meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam Al Qur’an dan Sunnah . Metode ilmiah dalam membangun sebuah
teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa
dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah
teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al Qur’an yang diwahyukan
melalui Nabi Muhammad SAW, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian
terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan
datang. Menyesuaikan dengan kemampuan manusia dalam membaca mukjizat
tersebut . Dalam Surat Al-An’am ayat 38:
…
Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah
mereka dihimpunkan.”
Ditegaskan
juga dalam ayat lain, yaitu surat An Nahl ayat 89
“…
kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Untuk
itu menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi para muslim untuk
memahami konsep pendidikan menurut Al Qur’an dan Al Sunnah. Konsep dasar yang
perlu untuk dikaji berawal dari definisi atau pengertian pendidikan yang
disandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah.
II. Pengertian
Pendidikan dalam Pandangan AlQur’an dan As Sunnah
Sangat
penting jika di awal kita memastikan pengertian pendidikan yang didasarkan pada
Al Qur’an dan As Sunnah. Karena berangkat dari pengertian inilah akan
menjadikan pondasi yang akan menyangkut konsep bangunan pendidikan itu sendiri.
Istilahpun akan memberikan pemahaman yang utuh, mengingat istilah tidaklah
bebas nilai akan tetapi sarat akan nilai-nilai yang mengikutinya . Dalam hal pendidikan, bersandar pada Al
Qur’an dan Hadith dikenal beberapa istilah yang dianggap mewakili pengertian
tersebut. Hal ini disebabkan istilah pendidikan tidak disebutkan secara
langsung dalam Al Qur’an dan Al Hadith . Sebenarnya, banyak istilah yang dianggap
mendekati makna pendidikan, diantaranya Al Tansyi’ah, al Islah, Al
Ta’dib atau al Adab, Al Tahzib, Al Tahir, Al Tazkiyyah, Al Ta’lim, Al Siyasah,
Al Nash wa Al Irsyad dan al Akhlaq bahkan sumber lain menambahkan dengan
istilah at Tabyin dan at Tadris .Namun, dalam
persidangan dunia pertama mengenai pendidikan islam pada tahun 1977, menegaskan
bahwa pendidikan didefinisikan sebagai Al Tarbiyah, Al Ta’lim dan Al
Ta’dib secara bersama-sama.
Tarbiyah
Konsep
tarbiyyah ( ) merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting.
Perkataan “tarbiyyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik
dari fi’il (kata kerja) seperti berikut :
a. Rabba,
yarbu yang berarti tumbuh, bertambah, berkembang.
b. Rabbi, yarba yang
berarti tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa
c.
Rabba, yarubbu yang berarti memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai
dan memimpin, menjaga dan memelihara.
Melalui
pengertian tersebut, konsep tarbiyyah merupakan proses
mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang
lebih sempurna. Ia bukan saja dilihat proses mendidik saja tetapi merangkumi
proses mengurus dan mengatur supaya perjalanan kehidupan berjalan dengan lancar.
Berdasarkan
penafsiran pada surat Al Fatihah ayat 2,
“Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam” .
Terdapat
penafsiran terhadap ayat tersebut yaitu Allah itu Pendidik semesta alam tak
ada suatu juga dari makhluk Allah itu terjauh dari didikan-Nya. Allah mendidik
makhluk-Nya dengan seluas arti kata itu. Sebagai pendidik, Dia menumbuhkan,
menjaga, memberikan daya (tenaga) dan senjata kepada makhluk itu guna
kesempurnaan hidupnya masing-masing.
Selain
daripada Allah sebagai Pendidik, manusia juga boleh menjadi pendidik
berdasarkan firman Allah:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”.
Walaupun
ayat ini dalam beberapa tafsir banyak menitikberatkan pembahasan pada kewajiban
anak terhadap orang tua, namun kata “Rabba” yang diartikan mendidik memberikan
pembentukan istilah darinya yaitu tarbiyyah yang berarti
diartikan sebagai pendidikan.
Kata Al
Rabb juga berasal dari kata tarbiyyah yang berarti
mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau membuat
sesuatu untuk mencapai kesempurnaannya secara bertahap.
Didalam
Al Qur’an, kata rabba diartikan mengasuh seperti pada surat Al
Syu’ara, ayat 18
“Fir’aun menjawab: “Bukankah kami Telah mengasuhmu di
antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama
kami beberapa tahun dari umurmu.”
Penggunaan
kata tarbiyah, secara bahasa juga banyak digunakan oleh masyarakat
Arab untuk makhluk hidup selain manusia (hewan dan tumbuhan) yang membawa
maksud memelihara, memelihara dan menernak.
Al
Jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lainnya
secara makna memiliki arti memberi makan, memelihara; yakni dari akar
kata ghadza atau ghadzw yang mengacu kepada
segala sesuatu yang tumbuh seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya.
Tentu
saja dari makna tersebut dan didasarkan pada penjelasan lainnya memberikan
pengertian bahwa istilah tersebut mencakup pada segala hal yang bisa
ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan tidak hanya terbatas pada manusia,
padahal seperti yang telah ditunjukkan Al Attas bahwa pendidikan dalam arti
Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia.
Menurut
Al Attas, secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan
tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam, sebagaimana
dipaparkan[21] :
1. Istilah tarbiyah yang
dipahami dalam pengertian pendidikan sebagaimana dipergunakan di masa kini
tidak bisa ditemukan dalam leksikon-leksikon bahasa Arab besar.
2. Tarbiyah
dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al Qur’an dengan
istilah raba dan rabba yang berarti sama,
tidak secara alami mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, intelegensi dan
kebajikan yang pada hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan yang
sebenarnya.
3. Jika
sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan
disusupkan ke dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu pada
pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya.
Dari
beberapa penjelasan tersebut proses tarbiyah tidak mencakup langsung
keterlibatan ilmu sebagai aspek penting dalam pendidikan. Tarbiyyah lebih
menekankan pada proses memberikan kasih sayang. Walaupun tentu saja proses
pengasuhan dan kasih sayang merupakan bagian yang sangat penting dalam
pendidikan.
Tarbiyyah sebagai
proses pengembangan (penumbuhan) diri sebagai pengembangan potensipun sangat
diperlukan dalam proses pendidikan meskipun bersifat materi. Keahlian dan
ketangkasan fisik sangat diperlukan disesuaikan untuk mengoptimalkan potensi
masing-masing yang dididik, apalagi untuk menghadapi kondisi kehidupan
modern yang semakin kompleks, namun setidaknya hal tersebut tidak mempersempit
atau mengaburkan dari proses atau konsep utama pendidikan dalam islam itu
sendiri.
Firman
Allah,
“ Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi ….”
Ta’lim
Perkataan ta’lim (تعليم) pula
dipetik dari kata dasar ‘allama (علّم, yu‘allimu ( يعلّم) dan ta’lim (تعليم)
Dalam surat Al Jum’ah ayat 2,
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan
Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”
Dalam
surat yang diturunkan di Madinah tersebut menggunakan yu’allimu,
yang merupakan salah satu kata dasar yang membentuk istilah ta’lim. Yu’allimu diartikan
dengan mengajarkan, untuk itu istilah ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran (instruction).
Dari
ayat tersebut juga bisa dimaknai bahwa Rasulullah juga seorang mu’allim,
hal ini memperkuat sungguh dari beliau adanya keteladanan, termasuk bagaimana
seharusnya menjadi seorang muallim. Bahkan hal tersebut merupakan
nikmat Allah bagi orang-orang mukmin, sebagaimana firmanNya,
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al
hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dalam
surat yang lain, Allah berfirman,
“Sebagaimana
(Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu
Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui.”
Dari
2 ayat tersebut juga didapatkan penggunaan yu’allimu yang
diartikan mengajarkan dan membentuk kata ta’lim yang berarti bisa diartikan
sebagai pengajaran.
“… padahal Sulaiman tidak kafir (Tidak mengerjakan
sihir), Hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang
malaikat[78] di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami
Hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari
dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan
antara seorang (suami) dengan isterinya[79]. dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah.
dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa
yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di
akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka Mengetahui.”
Diriwayatkan bahwa
kaum Yahudi bertanya kepada Nabi SAW beberapa kali tentang beberapa hal dalam
Taurat. Semua pertanyaan mengenai isi Taurat, dijawab oleh Allah dengan
menurunkan ayat. Ketika itu mereka menganggap bahwa ayat tersebut dirasakan
sebagai bantahan terhadap mereka. Mereka berkata dengan sesamanya: “Orang ini
lebih mengetahui daripada kita tentang apa yang diturunkan kepada kita.” Di
antara masalah yang ditanyakan kepada Nabi SAW ialah tentang sihir .
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami
kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat
kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan
Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
“Yang
Telah mengajarkan Al Quran”.
“Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad)
dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah
pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.”
“…. Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang
mengajarkan sihir kepadamu Maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui
(akibat perbuatanmu); Sesungguhnya Aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan
bersilangan dan Aku akan menyalibmu semuanya”.
“….
Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. …
“.
“Musa Berkata kepada Khidhr: “Bolehkah Aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah
diajarkan kepadamu?”
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Telah
menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan Telah mengajarkan kepadaku
sebahagian ta’bir mimpi. …”
“Dan tatkala mereka masuk menurut yang
diperintahkan ayah mereka, Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah
melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu
keinginan pada diri Ya’qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia
mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi
kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”
“… dan (juga karena) Allah Telah
menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang
belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”
“…. akan tetapi (Dia berkata):
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al
Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al
Kitab, hikmah, Taurat dan Injil.”
Al
Kitab pada ayat tersebut ada yang menafsirkan dengan pelajaran menulis, dan ada
pula yang menafsirkannya dengan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya
selain Taurat dan Injil.
Allah
SWT. berfirman,
“ …. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka
sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui.”
Allah
SWT. berfirman,
31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!”
32. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari
dua ayat tersebut, M. Tholib memberikan pengertian bahwa ketika malaikat enggan
mematuhi perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam dengan alasan mereka
merupakan makhluk yang baik,
sedangkan manusia merupakan makhluk yang masih dipertanyakan kebaikannya, maka
Allah SWT memberikan keistimewaan kepada Adam dengan memberitahukan nama-nama
benda yang terdapat dihadapan Adam. Setelah itu Allah SWT memperlihatkan
benda-benda tersebut kepada para Malaikat agar mereka menyebutkan nama-namanya,
ternyata Malaikat tidak dapat menyebutnya. Hal ini disebabkan karena mereka
tidak tahu nama-namanya walaupun mereka melihat benda-benda tersebut, sebab
mereka tidak diberitahu oleh Allah SWT nama-nama benda itu. Para Malaikat
dengan jujur menjawab bahwa mereka tidak tahu, mereka pun menjelaskan alasannya
yaitu belum diberitahu oleh Allah SWT. Adam as kemudian diperintahkan oleh
Allah SWT menyebutkan nama-nama benda yang telah Allah SWT beritahukan dihadapan
para Malaikat, para Malaikat menyadari kekurangannya dihadapan Adam as dan
disaksikan oleh Allah SWT.
Selanjutnya
Thalib mengatakan bahwa Ta’lim memiliki arti memberitahukan
sesuatu kepada seseorang yang belum tahu .
“ Ya Tuhan kami, utuslah untuk
mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan
Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Allah
SWT. berfirman,
“Yusuf berkata: “Tidak disampaikan
kepada kamu berdua makanan yang akan diberikan kepadamu melainkan Aku Telah
dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. yang
demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Tuhanku. …”
Allah
SWT. berfirman,
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah
yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik
dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang Telah kamu ajar dengan
melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang Telah diajarkan
Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu[400], dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)[401]. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.”
Sedangkan
penggunaan ‘allama (N¯=tæ) juga didapatkan pada hadith, Rasulullah bersabda,
“Barang
siapa yang mengajarkan suatu ilmu maka dia memperoleh pahala orang yang
mengamalkannya”
Dalam hadith
lain, Rasulullah bersabda,
“Diantara
amal dan kebaikan yang menyusul seseorang sesudah matinya adalah: ilmu yang dia
ajarkan dan sebarluaskan, …”
Sa’ad
bin Abu Waqqash r.a berkata:
كُـنَّا نُعَـلِّمُ
أَوْلاَدَنَا مَغـَازِىْ رَسُوْلِ اللهِ صَـلىَّ اللهُ عَلَيـْهِ وَسَـلَّمَ
كَمَـا نُعَلِّمُـهُمُ السُّـوْرَةَ مِـنَ الْقُـرْآنِ
“Kami mengajar anak-anak kami riwayat
hidup Rasulullah SAW. Seperti
kami mengajarkan satu surat dari Al Qur’an”
Kata dasar yuallimu terdapat di
beberapa firman Allah SWT. Yaitu
“ Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih
kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta’bir
mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga
Ya’qub, …”
Istilah Mu’allim atau
pengajar yang berarti orang yang melakukan pengajaran, juga di munculkan dalam
hadith, Nabi Muhammad SAW. bersabda,
اعملوا بطاعة الله و
اتقوا معاصى الله و مروا اولادكم بامتثال الاوامر, و اجتناب النواهى, فذالك و قاية
لهم و لكم من النّار
“Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut
berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati
perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena itu akan memelihara
mereka dan kamu dari api neraka ”
Dalam
hal ini ungkapan (اعملو) diberikan kepada orang tua yang
berlaku sebagai mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau yang
diajari adalah anak-anaknya.
Umar
ibn Khatab berkata:
علموا اولادكم الرماية و الصباحة و مروهم
ان يثبوا على الخيل وثبا
“Ajarkanlah memanah dan berenang kepada anak-anak
kamu, dan suruhlah mereka melompat keatas kuda dengan sekali lompatan”
Rasulullah
bersabda[54],
من دخل مسجدنا هذا ليعلّم خيرا او ليتعلّم
كان كا المجاهد فى سبيل الله
“Barang
siapa masuk masjid kami ini untuk tujuan mengajarkan kebaikan atau untuk
belajar, maka dia bagaikan orang berperang di jalan Allah”
ما من رجل يعلم ولده القرأن فى الدنيا
الاّ توّج ابوه بتاج فى الجنّة يعرفه به اهل الجنّة بتعليم ولده القرأن فى الدنيا
“Tidaklah seseorang mengajarkan Al Qur’an kepada
anaknya di dunia kecuali ayahnya pada hari kiamat dipakaikan mahkota surga.
Ahli surgamengenalinya dikarenakan dia mengajari anaknya Al Qur’an di dunia”
Dalam hadith lain, Rasulullah bersabda
تعلّمو القرأن فأقرؤوه
فانّ مثل القرأن لمن نعلّمه و قرأه و قام به كمثل جراب محشوٍّ مسكا يفوح ريحه فى
كلّ مكان
“Belajarlah
Al Qur’an, lalu bacalah. Sesungguhnya perumpamaan Al Qur’an bagi orang yang
mempelajari, membaca dan beribadah malam dengannya bagaikan tempat yang
dipenuhi minyak kesturi yang semerbak bau harumnya di setiap tempat”
Juga
sabda beliau,
خيركم من تعلّم القرأن و علّمه
“Sebaik-baik
kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya”
Dalam
hadith ini secara lengkap disebutkan Ungkapan ta’alim (تعلّم), sedangkan
ilmu yang dipelajari adalah Al Qur’an serta disebutkan pihak yang
mengajarkannya.
Kemudian,
kepada sahabat Rasulullah bersabda
ما اجتمع قوم فى بيت من
بيوت الله يتعلّمون كتاب الله و يتدارسونه بينهم الاّ نزلت عليهم السكينة و غشيتهم
الرحمة و حفّتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده
“Sekelompok masyarakat tidak berkumpul di masjid
mempelajari kitab Allah dan bertadarrus diantara mereka, kecuali turun kepada
mereka ketenangan, mereka diliputi rakhmat, dikerumuni malaikat dan Allah
membanggakan mereka kepada makhluk hidup disisinya”
Ta’lim secara
umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal
ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan
ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim).
Misalnya pada surat Yusuf, ayat 6, berarti ilmu pengetahuan yang dimaksud,
diajarkan atau dialihkan kepada Nabi adalah tabir mimpi. Sedangkan pada
surat Al Maidah ayat 4, ilmu yang dimaksud adalah ilmu berburu.
Ta’lim juga
mewakili ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu. Dari perkataan Sa’ad bin
Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat Rasulullah,
diajarkan sehingga menjadi tahu.
Namun,
istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk
dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang
istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena
pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang
lebih baik, sesuai peran dan fungsinya didunia ini menurut Al Qur’an dan As
Sunnah.
Ta’dib تأديب
Ta’dib ( )
berasal dari kata addaba (أدّب), yuaddibu (يأدّب) dan ta’dib (تأديب).
Ta’dib sebagai
istilah yang paling mewakili dari makna pendidikan berdasarkan Al Qur’an dan Al
Hadith dikemukakan oleh Syed Naquib Al Attas[61]. Al Attas memaknai pendidikan dari
hadith,
أَدَّبَنِى رَبِّى
اَحْسَنَ تَأْدِِيْـبِى
“Tuhanku
(Allah) telah mendidikku dengan pendidikan yang terbaik”
Addaba (أدّب )
diterjemahkan oleh Al Attas sebagai mendidik, yang menurut Ibnu Manzhur
merupakan padanan kata allama dan oleh Azzat dikatakan sebagai cara Tuhan
mengajar Nabi-Nya sehingga Al Attas mengatakan bahwa mashdar addaba (yakni
ta’dib) mendapatkan rekanan konseptualnya di dalam istilah ta’lim.
Selanjutnya Al Attas menyampaikan[62],
”Dalam
pendefinisian kita tentang ’makna’, kita katakan bahwa ’makna’ adalah
pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuat sistem. Karena pengetahuan
terdiri dari sampainya, baik dalam arti hushul dan wushul,
makna di dalam dan oleh jiwa, maka kita definisikan ’pengetahuan’ sebagai
pengenalan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam penciptaan
sedemikian rupa, sehingga hal ini membawa kepada pengenalan tentang tempat yang
tepat dari Tuhan dalam tatanan wujud dan keperiadaan. Agar pengetahuan bisa
dijadikan ’pengetahuan’, kita masukkan unsur dasar pengakuan di dalam
pengenalan, dan kita definisikan kandungan pendidikan ini sebagai pengenalan
dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam keteraturan
penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat-tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepriadaan.
Kemudian kita definisikan pendidikan, termasuk pula proses pendidikan, sebagai
pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sedemikian rupa, ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan.”
Hadith
tersebut memperjelas bahwa sumber utama pendidikan adalah Allah. Sehingga
pendidikan yang beliau peroleh adalah sebaik-baik pendidikan. Dengan demikian
dalam pendangan filsafat pendidikan Islam. Rasulullah merupakan pendidik utama
yang harus dijadikan teladan[63].
Dalam
hadith lain, Prof. Abdullah Nasih Ulwan[64],
mengambil hadith yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ali r.a. untuk menjadi
dasar penting terhadap pendidikan Al Qur’an untuk anak, bahwa Rasulullah
bersabda:
أَدِّبُـوْا أَوْلاَدَكُمْ عَـلَى ثَلاَثِ
حِصَـالٍ: حُبِّ نَبِـيِّكُمْ وَحُبِّ آلِ بَيْـتِهِ, وَتِـلاَوَتِ اْلقُـرْآنِ.
فَإِنَّ حَمَـالَةَ الْقُـرْآنِ فِى ظِـلِّ عَـرْشِ اللهِ يَـوْمَ لاَ ظِـلَّ
إِلاَّ ظِلُّـهُ مَعَ أَنْبِـيَآئِـهِ وَأَصْفِـيَآئِـهِ
“Didiklah[65] anak-anakmu dalam tiga hal:
mencintai Nabimu, mencintai keluarga nabi, dan membaca Al Qur’an. Maka
sesungguhnya yang membaca Al Qur’an berada dalam naungan Nya, bersama para Nabi
dan orang-orang Suci”
Sebenarnya
istilah ta’dib sudah sering digunakan oleh masyarakat arab
pada jaman dahulu dalam hal pelaksanaan proses pendidikan. Perkataan adab dalam
tradisi arab dikaitkan dengan kemuliaan dan ketinggian pribadi seseorang[66].
Dalam
hadit lain[67], Rasulullah bersabda:
أدّبوا اولادكم و احسنوا ادابهم
“Didiklah
anak-anak kamu dengan pendidikan yang baik”
علموا اولادكم و أهليكم الخير و أدبوهم
“Ajarkanlah
kebaikan kepada anak-anak kamu dan didiklah mereka”
لأن يؤدّب الرجل ولده خير من ان يتصدق
بصاع
“Seorang yang mendidik anaknya itu lebih baik daripada
bersedekah satu sha”
اكرما اولادكم و احسنوا ادا بهم
“Muliakan
anak-anak kalian dengan adab yang baik”
من حقّ الولد على الوالد أن يحسن ادبه و
يحسن اسمه
“Diantara
yang menjadi hak seorang anak atas orang tuanya adalah memperbagus adabnya dan
menamakannya dengan nama yang baik”
ما نحل والد ولدا افضل من ادب حسن
“Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama yang
diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali adab yang baik”
الغلام يعـقّ عنه يوم
السـابع, و يسمّى و يـماط عنه الأذى فاذا بلـغ ستّ سنـين أدّب, و اذا بلغ تسع
سنـين عـزل عن فـراشه , فاذا بلـغ عشرة سنة ضرب على الصلاة و الصوم, فاذا بلغ ستّ
عشرة سنة زوّجه ابوه, ثمّ أخذ بيده و قال قد أدّبتك و علّمتك و أنكحتك, اعوذ بالله
من فـتـنـتك فى الـدنيـا و عذابـها فـى الاخرة
“Seorang anak diselamati pada hari ketujuh dari
kelahirannya, diberi nama dan dihilangkan penyakitnya (dicukur
rambutnya). Jika sudah menginjak usia enam tahun, maka ia diberi
pendidikan. Jika sudah menginjak usia sembilan tahun, maka ia dipisahkan tempat
tidurnya. Jika sudah menginjak usia tigabelas tahun maka ia harus dipukul bila
tidak mau mengerjakan sholat dan puasa. Dan jika telah menginjak enambelas tahun,
maka ayahnya boleh mengawinkan, lalu memegang anaknya itu dengan tangannya dan
berkata padanya:’Aku telah mendidikmu, mengajarmu dan mengawinkanmu’. Aku
berlindung kepada Allah dari fitnah (yang disebabkan ulah)mu di dunia dan dari
adzab yang (disebabkan) fitnah itu di akhirat”
.
Dalam
persidangan kedua tentang pendidikan Islam di Islamabad, Al Attas menegaskan
konsep ta’dib dalam pendidikan dengan mengemukakan gagasan, yaitu:
“Ta’dib already includes within its conceptual
structure the element of knowledge, instruction (ta’lim), and good breeding
(tarbiyyah) so that there is no need to refer to the concept of education in
the Islam as tarbiyyah-ta’lim-ta’dib all together. Ta’dib is then the precise
and correct term to denote education in the Islamic sense”
Hal
tersebut untuk memberikan penekanan terhadap konsep yang telah ditetapkan pada
sidang sebelumnya yang menyatakan bahwa adanya kesatuan antara ta’lim, tarbiyah
dan ta’dib. Padahal menurut pendapat beliau bahwa ta’dib sudah meliputi
tarbiyyah dan ta’lim. Sehingga tidak dibutuhkan penyatuan atau penggunaan
konsep ketiganya secara bersamaan.
Konsep
ta’dib dalam pendidikan menjadi sangat penting diketengahkan, mengingat semakin
terlihatnya gejala keruntuhan akhlak di kalangan umat Islam bukan dikarenakan
mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan , tetapi karena mereka telah kehilangan
adab. Tindak kejahatan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan dan hal
lain justru banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang mengenyam proses pendidikan.
Proses bertambahnya ilmu pengetahuan seakan-akan tidak berbanding lurus bahkan
tidak berhubungan dengan peningkatan akhlak yang mulia atau keimanan para
mudarist.
Dari
hadist tersebut juga ditekankan akan kewajiban dan hal yang utama bagi orangtua
untuk memberikan pendidikan yang baik dan menjadi hak setiap anak untuk
mendapatkannya. Disebutkan pula bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan
diperoleh sejak usia dini sampai menikahkannya.
Dr.
Abdullah Nashih Ulwan memberikan penjelasan terhadap hadits-hadits tersebut
bahwa:
“para
pendidik terutama ayah dan ibu, mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik
anak dengan kebaikan dan dasar-dasar moral. Mereka bertanggung jawab untuk
mendidik anak-anak sejak kecil untuk berlaku benar, dapat dipercaya, istiqomah,
…”
Selanjutnya
dalam bukunya tersebut beliau menjelaskan tentang perilaku-perilaku dan
penyimpangan tercela yang harus dihindarkan oleh anak sebagai subjek didik.
III. Penutup
Penggunaan
istilah dalam pendidikan berdasar pada Al Qur’an dan As Sunnah yang tepat akan
menjadi sangat penting, karena akan mempengaruhi konsep pendidikan khususnya
pendidikan dalam pengertian Islam. Pengertian pendidikan akan mendasari tujuan,
metode sampai pada kurikulum pendidikan itu sendiri.
Mengadopsi
seluruh istilah atau menggabungkannya sebagai upaya untuk mengakomodasi saja
tidaklah cukup, mengingat strukturnya dan penekanannya akan berbeda. Apabila
ta’dib adalah istilah yang paling mewakili pendidikan dalam islam, maka adab
akan menjadistressing dalam pendidikan secara keseluruhan, tidak
hanya pada pendidikan agama saja.
Walaupun
demikian tarbiyyah dan ta’lim merupakan istilah yang memilki kaitan erat
langsung dengan pendidikan itu sendiri. Proses pengembangan diri dan pengajaran
adalah bagian penting dalam pendidikan untuk mencapai tujuan manusia sebagai
hamba Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar