Sesungguhmya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu
kebahagiaan dan keberhasilan seseorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab
atau tidak beradab adalah alamat(tanda)
jelek dan jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali
dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat
melainkan karena kurangnya adab. (Madarijus Salikin, 2/39)
Di antara adab-adab yang
telah disepakari adalah adab murid kepada syaikh atau gurunya. Imam Ibnu Hazm
berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam
dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan
dan orang yang berilmu.” (al-Adab as-Syar’iah 1/408)
Berikut ini beberapa
adab yang selayaknya dimiliki oleh penuntut ilmu ketika menimba ilmu kepada
gurunya. Sebagai nasehat bagi kami, selaku seseorang yang masih belajar dan
nasehat bagi saudara-saudara kami seiman yang sedang dan ingin menimba ilmu. Allohul Muwaffiq.[i]
1. Ikhlas sebelum melangkah
Pertama kali sebelum melangkah untuk menuntut ilmu hendaknya
kita berusaha selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah
faktor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah
ibadah, amalan yang mulia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas
dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak ustadz,
?rang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاء
Padahal mereka tidakdisuruh kecuali supaya
menyembah Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama
yang lurus… (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk
membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau
mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka. (HR. Ibnu Majah 253, Syaikh
al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam al-Misykah 225)
Imam ad-Daruqutni
berkata: “Dahulu kami menuntut ilmu untuk selain Alloh, akan tetapi ilmu itu
enggan kecuali untuk Alloh.” (Tadzkiratus Sami hal. 47, lihat Ma’alim fi Thoricj Tholibil llmihal.
20)[ii]
Imam asy-Syaukani
berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan
niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat
Alloh, yang dengannya diturunkan para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut
ilmu membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi[iii], atau karena ingin inencapai kemuliaan, kepemimpinan dan
Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya.” (Adabut Tholab wa Muntaha al-Arab hal. 21)
Apabila keikhlasan telah
hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut ilmu) akan berpindah dari
keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang paling rendah!. (at-Ta’liq as-Tsamin hal.
18)
2. Jangan mencari guru sembarangan
Ibnu Jama’ah al-Kinani
berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikhoroh kepada
Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang
benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah murid
memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling bagus dalam memberi
pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau
agamanya atau tidak punya akhlak yang bagus.” (Tadzkiratus Sami’ wal
Mutakallim hal.
86)
Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam Ibnu Muflih
berkata: “Fasal mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda.” (al-Adab asy-Syari’ah 2/214)
Sahabat Abdulloh bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu membacakan ilmu
kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada Abdurrahman bin Auf.”
(HR. Bukhori 6442)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“Dalam hadits ini terdapat peringatan akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya
sekalipun masih berusia muda atau sedikit kedudukannya.”(Kasyful Musykil, lihat Adab at-Tatalmudz hal.
16)
Imam Ibnu Abdil Barr
berkata: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah sekalipun dia seorang
syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih muda.” (Jami’ Bayanil Ilmi, Adab at-Tatalmudz hal. 16)
Faedah: Orang
berilmu tetap dikatakan alim sekalipun masih muda.
Mengambil Ilmu dari ahli bid’ah?
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Perhatikanlah, agamamu. Lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu. Ambillah ilmu
dari orang yang istiqomah, jangan kamu mengambilnya dari orang yang
menyimpang.” (al-Kifayah oleh Khothib al-Baghdadihal. 149)
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata:
“Waspadalah anda dari -Abu Jahl- ahli bid’ah yang menyimpang aqidahnya. Yang
menjadikan hawa nafsu sebagai hakim dia sebut akal. Berpaling dari dalil. Dia
lebih berpegang dengan yang dho’if dan menjauh dari yang shohih.” (Hilyah Tholibil Ilmi. Lihatat-Ta’liq as-Tsamin hal.
204)
Akan tetapi jika seorang
muslim terpaksa belajar kepada ahli bid’ah semisal dia tidak mendapati ahli
sunnah maka perkaranya lain lagi. Syaikhul Islam mengatakan, “Apabila ada udzur
untuk mengerjakan kewajiban berupa ilmu atau jihad kecuali kepada orang yang
ada bid’ahnya, yang mana bahayanya lebih kecil daripada meninggalkan kewajiban
itu, maka meraih kewajiban dengan melakukan kejelekan yang ringan hal itu lebih
baik daripada sebaliknya. Oleh karena itu masalah ini perlu perincian.” (Majmu’ Fatawa 28/212)
3. Mengagungkan guru
Mengagungkan orang yang
berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
ليس منا من لم يجلّ كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه
Bukanlah termasuk golongan kami orang
yang tidak menghorrmti orang
yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti
hak ulama kami. (HR. Ahmad 5/323, Hakim 1/122.
Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117)
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan.
Hendaklah ia meyakini keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu
akan menghantarkan seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan
lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya
tersebut.” (al-Majmu’ 1/84)
Bolehkah mencium kepala atau tangan guru?
Sering kita jumpai seorang murid mencium tangan gurunya sebagai
bentuk penghormatan dan pengagungan. Apakah perkara ini dibolehkan?
Shuhaib Maula Ibnu Abbas
berkata: “Aku melihat sahabat Ali mencium tangan dan kedua kaki al-Abbas.” (HR.
Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 976)
Imam Ibnu Muflih
berkata: “Dibolehkan berpelukan, mencium tangan dan kepala, apabila karena
perkara agama, atau demi pemuliaan dan penghormatan dan aman dari
syahwat. Dhohirnya hal ini tidak dibolehkan apabila karena urusan dunia.” (al-Adab asy-Syar’iah 2/377)
Perhatian: Apabila
seseorang memulai dengan menjulurkan tangannya kepada manusia agar mereka
mencium, maka ini terlarang secara tegas tanpa ada perselisihan dan siapa pun
dia orangnya. Berbeda apabila orang yang mencium dia yang memulai untuk mencium
(maka boleh).” (Adab at-Tatalmudz hal. 21)
4. Akuilah keutamaan gurumu
Khothib al-Baghdadi
berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih
dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.”
(al-Faqih wal Mutafaqqih 1/196)
Ibnu Jamaah al-Kinani
berkata: “Hendaklah seorang murid mengenal hak gurunya, jangan dilupakan
semua jasanya.” (Tadzkiratus
Sami’ hal.
90)
5. Doakan kebaikan
من صنع اليكم معروفا
فكافنوه فاءن لم تجدواه ما تكافنوا به فادعوا له حتى تروا أنكم قد كا فأتمواه
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka
balaslah denganbalasan yang setimpal. Apabila kamu
tidak bisa membalasnya, maka
doakanlah dia hingga engkau memandang telahmencukupi untuk membalas dengan balasan
yang setimpal.” (HR.
Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ahmad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no.
216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56.
Lihat as-Shohihah 254)
Imam Abu Hanifah
berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan
ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu memintakan ampun untuk orang yang
aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.” (Mana-qib Imam Abu Hanifah. LihatAdab at-Tatalmudz hal. 28)
Ibnu Jama’ah berkata:
“Hendaklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa.
Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah
wafat.”(Tadzkiroh
Sami’ hal.
91)
6. Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata:
“Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru
adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.”(Tadzkiroh Sami’ hal.
88)
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan
kemuliaan dan kedudukannya yang agung, beliau mengambil tali kekang unta Zaid
bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita
diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.” (as-Syifa 2/608)
al-Khothib telah
meriwayatkan dalam kitab Jami’nya
bahwa Ibnul Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang
paling banyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang paling
banyak airnya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 32)
Peringatan. Ibnu
Jama’ah al-Kinani berkata rahimahullah: “Hendaknya seorang penuntut ilmu
tidak hanya mencukupkan diri untuk belajar kepada guru-guru yang populer saja,
karena hal itu dinilai oleh al-Ghozali termasuk kesombongan dan kebodohan.
Ketahuilah bahwa kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh
seorang mukmin, dia akan mengambilnya dimana pun dia mendapatkannya dan
berterima kasih kepada orang yang memberikan kepadanya. Demikian pula seorang
penuntut ilmu, dia akan lari dari kebodohan sebagaimana dia lari dari singa.
Dan orang yang lari dari singa, dia tidak akan peduli siapa pun orangnya yang
menunjukkan jalan keluar kepadanya.” (Tadzkiroh Sami’ fi Adabil
Alim wal Muta’allim hal.
87)
7. Mencontoh akhlaknya
Hendaklah seorang penuntut
ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadzkiroh Sami’ hal.
86)
Qoshim bin Salam
menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepadanya untuk
melihat akhlak, kepribadian dan kemudian menirunya.” (Adab at-Tatalmudz hal.
40)
Imam as-Sam’ani
menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima
ratus orang menulis sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan
akhlak Imam Ahmad.” (Siyar AlamNubala11/316)
Perhatian. Imam
asy-Syathibi berkata: “Walhasil, hendaklah seseorang tidak mengikuti ularna
kecuali yang terpercaya menurut kaca mata syar’i. Yang selalu menegakkan
hujjah, paling paham dengan hukum syar’i secara umum maupun terperinci. Maka
acapkali yang diikuti tidak sesuai dengan syar’i dalam sebagian masalah, maka
janganlah dijadikan hakim dan jangan ditiru kesalahannya yang menyelisihi
syariat.” (al-I’thishom 1/535, Adab at-Tatalmudz hal. 42)
8. Bila pelajaran sudah dimulai
Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut
ilmu memperhatikan hal-hal berikut;
Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah
perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati
menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan
membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata:
“Hendaklah seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya memfokuskan
hatinya dan ber-sih dari segala kesibukan. Piki-rannya penuh konsentrasi, tidak
dalam keadaan mengantuk, marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian
agar hatinya benar-benar menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan
dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 96)
Faedah. Imam
Hasan al-Bashri rahimahullahberkata:
“Apabila engkau bermajelis maka bersemangatlah untuk mendengarkan daripada
berbicara. Belajarlah bagaimana mendengar yang baik sebagaimana belajar
berkata. Janganlah engkau memutus pembicaraan orang.”(Adab at-Tatalmudz hal. ,43)
Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus
diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan bersih.
Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan
keadaan dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang
kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat
hitam, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud
4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap
menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap
dalam dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat,
kepanasan dan sebagainya.
Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin
Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau
luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk
dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat belajar. Lain
halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal.
181)
Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan
menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142)
Apabila ada pelajaran yang tidak dipahami maka bertanyalah kepada guru dengan
baik. Bertanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang
santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai
guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan dengan
teman. Alloh berfirman;
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء
بَعْضِكُم بَعْضاً
Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di
antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain) … (QS. an-Nur [24]: 63)
Ayat ini adalah pokok
untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap
dibedakan keduanya. (al-Faqih wal Mutafaqqih, Adab
at-Tatalmudz hal.
52)
Perhatian. Sering kita
jumpai sebagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil
atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak
seperti berkata kenapa begini, soya
belum terima, siapa yang berkata demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah
wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa, bisa lupa dan bersalah. Apabila
engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau
memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk
mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang
guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani
berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan dalil atas sebuah
pertanyaan, khususnya apabila dalilnya adalah sebuah istinbat hukum yang tidak dinashkansecara jelas dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya
akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita menuntut demikian.
Akan tetapi tidak wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah berfirmandemikian, Rosul bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara fiqih yang
rumit yang diperselisihkan. (Majalah al-Asholah edisi. 8 hal. 76. Lihat at-Ta’liq as-Tsamin hal.
188)
9. Perhatikan keadaan gurumu
Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting.
Karena mengajar butuh persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta
belajar ketika kondisi guru tidak siap, semisal sedang sibuk, banyak
permasalahan, sedih dan sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Janganlah engkau meminta belajar kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih,
kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia malas untuk
menjelaskan pelajaran kepadamu.” (al-Majmu’ 1/86)
10 Membela kehormatan guru
Ketahuilah selayaknya
bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehormatan seorang
muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak
bisa diam dengan lisan maka dengan tangan, apabila orang yang mengghibah tidak
bisa dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat
tersebut. Apabila dia mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja
yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan kesholihan, maka hendaklah dia lebih
serius untuk membantahnya. (Shohih al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)
11 Jangan berlebihan kepada guru
Guru adalah manusia
biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya
menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan
sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan).
Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti
kesalahannya.Jangan
seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini.
Alloh berfirman;
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن
دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ
إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga
mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal
mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut
orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menjadikan perkataannya
sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucapannya
sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunyahal.
49, Adab at-Tatalmudz hal.
38)
12. Bila guru bersalah
Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang
pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada manusia.
Rosululloh -SHI bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan
sebaik-baiknya orang yang banyak bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251,
Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih Jami’us Shoghir 4515)
Imam Ibnul Qoyyim
berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui dengan pasti
bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran dan pengaruh dalam Islam
maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan
bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena
ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh
dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamulMuwaqqi’in 3/295)’
Demikianlah beberapa
adab seorang murid kepada gurunya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu
, berhiaskan akhlak yang mulia dan jauh dari akhlak yang rendahan. Amin.Allohu A’lam.
Sumber:
Majalah
AL FURQON, edisi 11 tahun VI Jumada Tsaniyah 1428 H, hal. 47-51
[i] Pembahasan ini banyak mengambil
manfaat dari risalah Adabat-Tatalmudz oleh
Syaikh Shalih bin Muhammad al-Asmari -Semoga Alloh menjaganya- dengan
beberapa tambahan oleh penulis.
[ii] Ibrohim an-Nakho’i berkata, “Barangsiapa
yang mencari ilmu karena mengharap wajah Alloh, maka Alloh akan memberikan
kecukupan kepadanya”. (HR. Darimi 265).
[iii] Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yahg mencari sesuatu dari ilmu ini dan menghendaki apa yang di
sisi Alloh, niscaya akan mendapatinya. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia
maka itulah bagiannya.” (HR. Darimi 254)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar